Ruh dan Jasad, Seperti Apakah Hubungan antara Keduanya?

Keimanan terhadap ruh merupakan keimanan terhadap sesuatu yang ghaib (al-Iman bil ghaib). Kita beriman pada keberadaan ruh, karena keberadaannya diinformasikan melalui wahyu. Menolak keberadaan ruh sama saja dengan mendustakan infromasi wahyu itu sendiri. Kendati demikian, kita tidak diminta untuk mengetahui hakikat dari sesuatu yang kita imani itu. Tidak ada masalah. Keimanan terhadap sesuatu tidak selamanya menuntut kita untuk tahu tentang hakikat dari sesuatu yang kita imani itu. Sejak dulu perkara ruh ini selalu menjadi misteri. Salah satu misteri yang cukup pelik ialah hubungan antara ruh dan jasad.     

Seperti apa sih hubungan antara ruh dan jasad itu? Pertanyaan ini tidak pernah dijawab secara memuaskan oleh para pakar, baik dari kalangan ulama, ilmuwan, filsuf, dan termasuk para teolog. Keberadaan ruh adalah bagian dari misteri ilahi. Dia tidak menyatu secara penuh dengan jasad, juga tidak terpisah sepenuhnya dari jasad. “Tidak menyatu dan tidak terpisah (lâ ittsihâl wala infishâl”. Demikian ungkapan yang digunakan oleh Syekh Yusri untuk menggambarkan hubungan antara ruh dan jasad itu. Menyatu sepenuhnya dengan jasad, tidak. Dikatakan terpisah sepenuhnya juga tidak. Lalu bagaimana? Allâhu ‘alam.

Ketika Anda memotong rambut, pasti Anda tidak merasakan ada yang kurang dari ruh Anda. Kita akan merasa biasa-biasa saja. Padahal, kalau seandainya ruh itu menyatu sepenuhnya dengan jasad, kita pasti akan merasakan kekurangan dalam diri kita. Kalau suatu waktu Anda terjatuh, dan tangan Anda patah, Anda akan merasakan sakit, tapi, lagi-lagi, Anda tidak akan merasa ruh Anda berkurang. Anda tetaplah Anda. Ini sebagai bukti bahwa ruh itu, kata beliau tidak menyatu sepenuhnya dengan jasad kita. Sekiranya dia menyatuh secara penuh dengan jasad, niscaya dia akan berkurang ketika ada salah satu bagian dari jasad kita yang hilang.

Tapi, kita juga tidak bisa memandang ruh terpisah sepenuhnya dari jasad. Kita bisa merasakan sesuatu yang ada di sekeliling kita. Dan kemampuan merasa adalah salah satu dari ciri ruh. Tanpa ruh, kita tidak akan mampu menjalani aktivitas. Dialah yang mengatur jasad kita. Sekalipun dia tidak menyatu sepenuhnya dengan jasad kita. Penting dicatat bahwa ruh bukan hanya sebatas kesadaran, seperti yang diduga oleh sebagian kalangan.

Dewasa ini kita menyaksikan orang-orang yang menafikan keberadaan ruh, dengan berasumsi bahwa yang ada itu hanyalah kesadaran. Seolah-olah konsep kesadaran itu sudah menggantikan keberadaan ruh. Dan fenomena kesadaran sudah bisa dijelaskan sains. Kalau sains sudah mampu menjelaskannya, berarti yang namanya ruh itu tidak ada! Sungguh, saya tidak menemukan penalaran yang logis di balik kesimpulan ini. Sebelum Anda berkesimpulan bahwa ruh itu tidak ada, dan yang ada hanyalah kesadaran, tentunya Anda harus tahu terlebih dulu apa yang dimaksud dengan ruh itu

Karena Anda tidak mungkin menafikan keberadaan A dengan adanya B, atau mempersamakan keduanya, kecuali setelah Anda mendapatkan penjelasan yang memadai tentang A itu sendiri. Bukankah penalaran yang logis meniscayakan hal itu? Agama sendiri tidak menyediakan penjelasan yang memadai tentang ruh, bahkan memandangnya sebagai sebuah misteri. Lantas atas dasar apa Anda menafikan keberadaannya, sambil melontarkan asumsi bahwa adanya kesadaran telah menafikan keberadaan ruh itu? Wong Anda sendiri tidak tahu hakikat ruh, kok.

Alhasil, ruh merupakan bagian dari rahasia ilahi. Ia terlahir atas perintah Tuhan, karena dia, menurut Syekh Yusri, berasal dari “alam perintah” (‘âlam al-Amr). Ketika orang-orang Yahudi bertanya kepada nabi tentang hakikat ruh, al-Quran memberikan jawaban, “katakanlah (wahai Muhammad), ruh itu adalah bagian dari perintah Tuhanku. Dan kalian tidaklah diberi ilmu kecuali hanya sedikit saja.” (QS. 17: 24). Ruh mengalami keterpisahan dengan jasad dengan dua macam keterpisahan. Pertama, keterpisahan temporal. Dua, keterpisahan yang kekal. Keterpisahan temporal dialami ketika seseorang tidur. Sedangkan keterpisahan yang kekal dialami ketika seseorang mengalami kematian.

Kemana ruh pergi setelah seseorang mati? Ruh pergi menuju alam berzakh. Secara kebahasaan, kata barzakh itu sendiri bermakna “perantara.” Dinamai alam barzakh karena alam itu menjadi perantara antara alam dunia dengan alam akhirat. Menarik untuk dicatat, bahwa setelah terpisah dari jasad, ruh masih punya kemampuan untuk mengakses alam jasad. Ketika jasad mayit disalatkan, ruh dari si mayit itu, kata Syekh Yusri, tahu siapa yang menyalatkannya, siapa yang mendoakannya, siapa yang bersedih atas kepergiannya, dan siapa yang tak bersedih. Diapun tahu apa yang dilakukan oleh keluarganya, baik itu menyangkut perbuatan yang baik maupun yang buruk.

Karena itu, demikian Syekh Yusri menegaskan, menyalati seorang Muslim dapat membuka pintu keberkahan bagi kita. Karena ketika kita mendoakan mayit, ruh sang mayit akan kembali mendoakan kita. Dan doa dari yang sudah mati akan lebih mudah dikabulkan ketimbang doa orang yang masih hidup. Barangkali inilah alasan kenapa kita perlu mendoakan orang-orang yang sudah wafat, terutama orang-orang saleh. Karena doa itu tidak hanya sampai kepada orang yang kita doakan, tapi pengabulan doa itu juga akan berpulang kepada orang yang mendoakan.

Meski kita tidak tahu seperti apa hakikat dari ruh itu, yang jelas dia ada. Karena keberadaannya diinformasikan oleh kitab suci kita (al-Quran). Soal seperti apa hubungannya dengan jasad kita, kita tidak tahu. Yang jelas, mengimani keberadaan ruh tidaklah bertentangan dengan nalar yang sehat. Ruh itu dimungkinkan keberadaannya oleh akal kita. Dan agama datang dengan penegasan bahwa dia benar-benar ada, meskipun kita tidak diberi tahu tentang hakikatnya, juga hakikat hubungan antara dia dengan jasad kita. Demikian, wallâhu ‘alam bisshawâb.

Bagikan di akun sosial media anda