Akidah dan FilsafatKritikTerkini

Mengapa Ateis Perlu Membuktikan Kebenaran Klaimnya?

Pada dasarnya, ketika orang mengajukan sebuah klaim, maka dia bertanggungjawab untuk membuktikan kebenaran klaim tersebut dengan serangkaian dalil. Kalau Anda menukil, maka penukilan Anda baru bisa diterima kalau dia benar-benar sahih. Inilah sesungguhnya kaidah emas  yang harus dipatuhi oleh siapa saja yang ingin terlibat dalam berdebat. Dalam masalah apa saja. Entah itu persoalan agama, politik, sosial, ekonomi, sejarah, sains, filsafat, dan lain-lain.

Semua klaim baru bisa dipandang benar kalau dia berlandaskan pada dalil yang benar. Kalau tidak berlandaskan dalil, maka klaim itu hanya akan menjadi omong kosong belaka. Persis seperti tubuh manusia yang berdiri di keramaian tanpa mengenakan busana. Memalukan. Itu adalah pemandangan yang benar-benar memalukan. Seorang sarjana yang baik harusnya menghindari sikap memalukan semacam ini. Kalau dia mengajukan sebuah klaim, maka dia harus siap ketika diminta untuk mengutarakan dalil.

Dan merangkai dalil itu sendiri tidak cuma sebatas bicara, ataupun tampil dengan menyertakan data. Tidak hanya sebatas itu. Untuk membuktikan logis tidaknya kesimpulan Anda, Anda harus mampu membangun premis-premis yang konsisten dengan klaim Anda itu. Kalau perangkaian premis itu cacat, dan Anda tidak bisa menemukan alasan yang tepat, maka dengan sendirinya argumen Anda menjadi tertolak.

Satu orang mengklaim, bahwa “Tuhan itu ada.” Lawan bicaranya membantah, “Oh tidak. Bagi saya, Tuhan itu tidak ada.” Baik. Ini adalah dua pernyataan yang kontradiktif. Tidak mungkin kedua-duanya benar, juga tidak mungkin kedua-duanya salah. Salah satunya harus ada yang benar. Dan kalau yang satu terbukti benar, maka yang lain sudah bisa kita pastikan salah. Beginilah hukum kontradiksi bekerja.  

Pertanyaannya, ketika ada dua klaim kontradiktif mengemuka, siapakah sesungguhnya yang harus terlebih dulu mengemukakan argumen atas klaimnya? Jelas, beban pembuktian itu ada di pundak orang yang mengutarakan klaim. A mengklaim bahwa Tuhan itu ada. Karena itu si B berhak untuk bertanya, “apa bukti kalau Tuhan itu ada?” Ketika diminta bukti seperti itu, si A jangan ngeles. Dia tidak boleh menggeser beban pembuktian itu kepada si B. Sebagai orang yang mengutarakan klaim, dia bertanggungjawab untuk menyuguhkan dalil-dalilnya.

Lalu, misalnya, setelah dimintai bukti, dia paparkanlah bukti itu satu persatu. Sekarang kita lihat si B, yang mengklaim ketiadaan Tuhan ini. Adakah bagian dari argumen si A yang tidak dia setujui? Kalau ada, katakan di mana letak poin yang tidak dia setujui itu? Premis pertama kah? Premis kedua kah? Atau jangan-jangan dia tidak setuju dengan definisi dari istilah tertentu yang dikemukakan oleh lawannya? Atau apa?

Semua aturan tentang berdebat ini sudah saya paparkan dalam buku Ilmu Debat. Bagi Anda yang tertarik untuk mengetahui lebih lanjut, Anda bisa membaca buku itu, dan buku-buku sejenisnya, yang sebagian besar ditulis dalam bahasa Arab. Ilmu ini penting. Karena tanpa adanya kaidah yang tepat, kita tidak akan mampu berdebat dengan cara-cara yang sehat. Saya tidak ingin menguraikan kaidah itu satu persatu di sini. Sekarang mari kita kembali pada contoh perdebatan yang telah kita sebutkan tadi.

A sudah mengajukan klaim, dan dia sendiri sudah mengajukan bukti-buktinya. Kalau argumen si A ini terbukti benar, maka klaim yang kontradiktif dengannya sudah pasti salah. Jadi, tanpa dia meminta bukti kepada si B pun, kalau argumennya terbukti benar, maka klaim yang menafikan keberadaan Tuhan—yang kontradiktif dengan klaimnya—itu sudah pasti salah. Sekarang bagaimana kalau si B ini ngeles, dan tidak mau menerima kebenaran argumen si A?  

Apakah si A ini berhak untuk meminta argumen atas klaim yang disampaikan oleh si B? Ya tentu saja. Selama yang diutarakannya itu adalah klaim, maka dia juga memikul tanggungjawab yang sama, yaitu menyampaikan dalil. Karena itu, si A, setelah selesai mengemukakan dalil-dalilnya, dia berhak untuk bertanya, “apa bukti kalau Tuhan itu tidak ada? Saya minta dalilnya.” Dia sah mengajukan pertanyaan itu, selama dia sudah menunaikan tugasnya, dan tidak menggeser beban pembuktian kepada lawannya.  

Kenapa saya katakan permintaan ini sah? Karena pernyataan “Tuhan tidak ada” itu sendiri adalah sebuah proposisi yang bisa jadi benar, bisa jadi salah. Artinya dia juga termasuk klaim. Dan selama dia termasuk klaim, maka yang mengutarakannya bertanggungjawab untuk menyampaikan dalil. Kalau dia tidak bisa, berarti dia hanya menyampaikan omong kosong. Bahkan kalaupun dia mengutarakan dalil, tapi dalil yang disampaikannya tidak konsisten dengan kesimpulannya, maka klaim itu tetap akan menjadi omong kosong.   

Masalahnya, orang-orang Ateis ini, ketika sudah diberikan bukti-bukti tentang keberadaan Tuhan, mereka suka berkilah dengan seribu satu jurus. Padahal, kalaulah dia tidak mampu mengajukan dalil atas klaimnya, minimal dia mampu membantah argumen-argumen si A dengan kritikan-kritikan yang terarah. Dan, sekali lagi, itu semua ada ilmunya. Tidak cuma asal bicara.

Memang, kalau hanya ingin menciptakan kegaduhan, kita tidak perlu peduli dengan aturan-aturan. Tapi, nalar yang sehat mengharuskan kita untuk berdebat dengan cara-cara yang tepat. Sebaliknya, nalar yang cacat tak akan sudi menerima aturan yang sehat. Baginya, yang penting punya modal bicara. Soal tepat atau tidak, itu tidak masuk dalam sisi perhatiannya.

Baik, sekarang saya sudah mengajukan bukti saya, bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Sekarang apa bukti Anda, kalau Tuhan itu benar-benar tiada? Mungkin orang Ateis akan berkata, “ya ketiadaan itu tidak butuh bukti. Jadi saya tidak perlu membuktikan kebenaran klaim saya.” Ini adalah salah satu cara ngeles orang Ateis yang cukup sering saya jumpai. Karena tidak mendalami filsafat dengan baik, mereka tidak bisa membedakan antara ketiadaan dengan sesuatu yang dikatakan tiada, padahal dia mungkin ada, atau bahkan dia niscaya ada.

Jelas, ketiadaan dan sesuatu yang dikatakan tiada itu adalah dua hal yang berbeda. Kita sepakat dengan orang Ateis, bahwa ketiadaan (nothingness/’adam) memang tidak memerlukan bukti. Tapi mengatakan sesuatu yang niscaya ada—dan keniscayaan itu dapat dibuktikan dengan argumen-argumen yang logis—seperti Tuhan, sebagai sesuatu yang tiada, itu jelas butuh pada pembuktian. Kecuali kalau dia mau jujur mengakui kebenaran klaim lawannya.  

Untuk menjelaskannya, saya ingin memberikan contoh yang benar-benar sederhana. Anda, misalnya, dituduh selingkuh oleh isteri Anda. “Aku melihat perempuan itu di dalam cafe! Ngaku kamu! Kamu selingkuh kan?!”. Akhirnya, karena merasa diri Anda terancam, Anda pun berkilah, “kata siapa? Aku nggak lagi sama siapa-siapa kok. Nggak ada perempuan itu. Kalau nggak percaya, coba aja buktikan sendiri!”

Kalau Anda perhatikan, masing-masing dari pasangan suami isteri tadi berdebat dengan dua pernyataan yang saling kontradiktif. Yang satu bilang ada perempuan (yang diduga sebagai selingkuhan) di dalam cafe. Yang satu lagi bilang tidak ada. Lalu mana yang benar? Masing-masing sebenarnya punya tanggungjawab untuk membuktikan itu.

Bagi sang isteri yang mengatakan ada, dia harus buktikan, bahwa perempuan yang diduga sebagai selingkuhan suaminya itu benar-benar ada. Kalau ternyata ada, dan dia bersembunyi di balik tirai, misalnya, berarti klaim dia benar. Kenapa dikatakan benar? Karena dia sesuai dengan kenyataan. Dan kalau klaim istertinya benar, maka klaim suaminya otomatis salah. Karena dia bertentangan dengan kenyataan.

Bagaimana sekarang kalau suaminya ini tidak mau mengakui kesalahan klaimnya? Bolehkah sang isteri meminta bukti? Ya jelas boleh. Sang suami tidak bisa mengatakan selingkuhannya tidak ada hanya dengan duduk di depan ruangan saja. Dia harus membuktikan, dengan menggunakan pancainderanya, bahwa siapa yang diduga sebagai selingkuhannya itu benar-benar tidak ada.

Kalau dia ngoceh bilang tidak ada, tanpa mau membuktikan ke dalam, wajar kalau isterinya tetap curiga, dan memandang omongannya sebagai omongan kosong yang tidak berguna. Saya tahu, permisalan ini tidak sepenuhnya tepat ketika kita berbicara tentang Tuhan. Karena status ontologis makhluk dengan Sang khaliq itu jelas berbeda.

Tapi, poin penting yang hendak saya sampaikan ialah, klaim yang menyatakan bahwa A itu tidak ada, padahal dia niscaya ada, atau sekurang-kurangnya tidak mustahil ada, itu tetap butuh pada pembuktian, selama yang bersangkutan tidak mau mengakui kebenaran klaim lawannya, kalau klaim lawannya itu memang terbukti benar.

Masalahnya, dari sudut ontologis, wujud Tuhan berbeda dengan wujud makhluk (dan karena itu saya tidak memandang permisalan di atas sebagai permisalan yang sepenuhnya tepat). Untuk membuktikan ada atau tidak adanya sebuah makhluk, kita cukup merujuk ke alam luar saja. Sedangkan Tuhan bukan bagian dari alam. Tapi dia adalah wujud yang menjadi sebab bagi keterlahiran alam, dan Dia sendiri berbeda dengan alam.

Lantas bagaimana cara membuktikan keberadaan dan ketiadaan-Nya? Untuk membuktikan ada atau tidak adanya sesuatu, kita harus tentukan status ontologis (wujud) dari sesuatu itu terlebih dulu. Tuhan ini tergolong ke dalam wujud yang seperti apa? Dia ini bagian dari alam atau bukan? Oh ternyata bukan. Dia bukan bagian dari alam. Dia adalah wujud pertama, yang diklaim sebagai sebab utama di balik keterlahiran alam semesta, berdasarkan asas hukum kausalitas (sebab-akibat), yang menegaskan bahwa setiap akibat pastilah bergantung kepada sebab.

Berhubung alam semesta itu tadinya tidak ada, kemudian ada, maka akal sehat kita menuntut adanya sebab itu. Tapi sebab itu sendiri bukan bagian dari alam. Karena kalau sebab itu kita katakan bagian dari alam, maka di sana akan terjadi sesuatu yang menjadi sebab bagi dirinya sendiri. Dan itu mustahil. Karena bukan bagian dari alam, berarti pastilah wujud Tuhan itu tidak bergantung pada wujud yang lain. Karena kebergantungan hanya dimiliki oleh sesuatu yang berada di alam.

Karena Dia bukan bagian dari alam fisik, maka wujud Tuhan pastilah berupa wujud metafisik. Otomatis, ketika itu, cara pembuktiannya pun tidak bisa mengunakan pancaindera semata. Karena itu saya sering bilang, bahwa ada atau tiadanya Tuhan tidak bisa dibuktikan dengan sains. Karena tugas sains hanya menjelaskan tentang fenomena alam, sementara Tuhan bukan bagian dari alam. Sangat logis sekali bukan?

Lalu, kalau begitu, dengan cara apa kita membuktikan keberadaan-Nya? Karena wujud Tuhan ini berupa wujud metafisik, seperti yang kita katakan tadi, maka tidak ada jalan lagi bagi kita kecuali menggunakan hukum-hukum akal, sebagai sesuatu yang juga bersifat metafisik. Salah satunya ialah hukum kausalitas (hukum sebab-akibat). Bagaimana kausalitas memandang keberadaan Tuhan itu? Apakah dia bisa dijadikan landasan untuk membuktikan keberadaan-Nya?

Sepanjang sejarah, para teolog telah menulis ratusan bahkan ribuan jilid buku untuk mengulas hal itu. Jadi, kalau ada orang Ateis yang meminta bukti tentang keberadaan Tuhan, kemungkinan besarnya memang cuma ada tiga. Satu, dia tidak pernah membaca bukti-bukti itu, dan karena itu dia meminta. Dua, dia membaca, dan pembacaannya kurang mendalam. Tiga, dia sudah membaca, dan tahu itu benar, tapi dia berusaha untuk menolak, meskipun itu harus dengan cara mengorbankan nalar sehatnya. Bagaimanapun respon mereka, bukti-bukti rasional itu ada. Dan untuk memahaminya, kita cukup berpijak pada nalar sehat semata.

Lantas bagaimana dengan orang-orang Ateis? Berapa buku yang sudah mereka hasilkan untuk membuktikan ketiadaan Tuhan itu? Kalau klaim mereka ingin dianggap benar, maka mau tidak mau mereka juga harus menggunakan argumen-argumen rasional untuk membuktikan kebenaran klaimnya itu. Hukum akal apa yang dia jadikan sebagai pijakan untuk menafikan keberadaan Tuhan? Bisakah dia membuktikan itu? Saya berani jamin, mereka tidak akan bisa. Jurus andalan mereka hanya burden of proof fallacy, teori evolusi, dan temuan-temuan sains. Atau merepetisi pandangan para tokoh pujaannya.

Tetapi apakah semua itu benar-benar dapat dijadikan alasan yang logis untuk menafikan keberadaan Tuhan? Kalau iya, kita persilakan mereka untuk mengajukan argumen itu. Sebagai manusia yang sama-sama bernalar sehat, kita berhak menuntut mereka untuk berargumen dengan cara-cara yang tepat. Kecuali kalau mereka sudah tidak mengaku lagi sebagai manusia. Atau mentahbiskan diri sebagai manusia yang gila. Kalau itu terjadi, tak ada gunanya lagi kita meladeni mereka. Demikian, wallahu ‘alam bisshawab.

Bagikan di akun sosial media anda