Bertahun-tahun Belajar Agama, Tapi Tidak Kunjung Menjadi Ulama

Apakah Anda pernah melihat orang yang belajar agama bertahun-tahun, mengaji kepada para ulama besar, mendaras kitab-kitab tebal, tapi dia sendiri tidak kunjung menjadi alim, padahal waktu yang ditempuhnya memungkinkan dia untuk mendapatkan kealiman itu? Waktu jadi mahasiswa, saya pernah mendengar satu nasihat yang benar-benar menohok. Setidaknya itu buat saya. Nasihat itu kira-kira bilang begini. Dulu, kata yang mengutarakan nasihat ini, ada orang belajar di al-Azhar selama kurang lebih 20 tahun. Masya Allah! 20 tahun?! Iya, 20 tahun. Dia mengaji kepada ulama-ulama besar. Dan yang dia kaji adalah kitab-kitab yang tebal. 

Tapi, demikian tuturnya lebih jauh, selesai belajar, kemampuan dia begitu-begitu saja. Maksudnya nggak ada perubahan yang benar-benar signifikan. Dan 20 tahun itu ternyata tidak cukup untuk menjadikannya sebagai ulama. Loh kok bisa? Masa iya sih? Ya sebenarnya bisa aja. Anda tahu alasannya kenapa? Dan sampai sekarang saya masih teringat jawaban yang satu ini. Katanya, “karena orang itu hanya bersandar pada kitab-kitab yang dibacakan oleh gurunya sendiri.” Dia nggak benar-benar belajar secara serius, dan mandiri dalam memperkaya wawasan. 

Yang dia baca cuma buku-buku yang diajarkan sama gurunya saja. Tidak mau, atau tidak terdorong, untuk memperkaya wawasan dengan bahan-bahan bacaan yang lain. Mungkin, dalam bayangan saya, orang ini ngajinya sering. Tapi, kalau mengaji, yang dia hadirkan cuma jasad doang. Kesungguhannya sendiri nggak ada. Itu persis seperti cara belajar seorang mahasiswa, yang kalau ikut mengaji, yang dia harapkan cuma mendapatkan pahala, keberkahan dan mengisi kekosongan waktu saja. Tidak ada kesungguhan di dalam dirinya untuk menguasai apa yang dia simak dari gurunya. 

Dan dia lupa bahwa ilmu tidak hanya bisa diperoleh dengan menghadirkan jasad di halaqah pengajian semata. Tapi ilmu mengharuskan adanya kesungguhan. Kesungguhan bahwa saya mengaji, dan menghadiri majlis ini, agar saya punya kemampuan ini, itu dan ini. Agar saya paham ini, itu dan ini. Dan, setelah pulang, kitab itu bukan hanya ditutup dan dijadikan pajangan, tapi juga harus dibaca ulang demi memantapkan pemahaman. Orang tadi tampaknya tidak melakukan hal itu. Sehingga 20 tahun yang dia lewatkan tidak mampu memberikan perubahan yang signifikan. 

Ngaji, tutup kitab. Ngaji, tutup kitab lagi. Dan begitu seterusnya. Tidak mau berdiskusi, juga tidak mau menambah wawasan sendiri. Pokoknya dia hanya bersandar pada kitab-kitab yang dibacakan oleh gurunya saja. Tampaknya, ini juga yang dialami oleh sebagian pelajar. Kuliah bertahun-tahun, tapi kemampuan tidak meningkat-ningkat. Nasihat di atas ingin berkata, bahwa dalam proses menuntut ilmu, di samping menyimak materi yang disampaikan guru, kita juga harus mandiri dan memperkaya wawasan sendiri. Jangan hanya sebatas mengaji dan membaca buku-buku yang diajarkan oleh para guru kita saja.  

Anda tidak perlu terheran-heran kalau ada orang yang sepanjang hidupnya mengaku telah membaca banyak buku. Tapi ilmunya sendiri nol. Banyaknya buku yang dia baca tidak mampu menghantarkannya sebagai seorang alim. Waktu bertahun-tahun yang dia lewatkan seolah berakhir dengan kesia-siaan. Sebabnya ya karena itu tadi. Dia tidak belajar dengan metode yang diajarkan oleh para ulama terdahulu. Baru-baru ini saya menyimak sebuah potongan video yang disampaikan oleh al-Marhum Syekh Ahmad as-Syadzili. 

Barangkali, di Mesir, Syekh Ahmad as-Syadzili ini termasuk salah seorang ulama muda yang punya perhatian serius terhadap khazanah ilmu-ilmu rasional Islam, seperti logika, kalam dan filsafat. Saya tidak tahu apakah beliau memiliki gelar akademik yang tinggi atau tidak. Yang jelas, buku-bukunya lumayan banyak. Dalam video pendek itu, beliau menyampaikan sejumlah pesan dan nasihat, yang beliau tujukan kepada para penuntut ilmu. Kalau kita ingin berhasil dalam menuntut ilmu, maka ada baiknya jika kita dengarkan empat poin yang disampaikan oleh Syekh Ahmad, melalui uraian di bawah ini. 

Pertama, mendapatkan gambaran umum (at-tashawwur al-ijmâli). Apa maksudnya? Ketika Anda ingin menekuni sebuah ilmu, yang harus Anda lakukan pertama kali ialah mendapatkan gambaran umum terlebih dulu tentang ilmu yang ingin Anda tekuni itu. Dari mana? Tentunya dari buku-buku dasar. Kalau mau mendalami ilmu kalam, misalnya, tidak bisa Anda langsung loncat ke kitab Mawaqif, atau Maqashid, sekalipun Anda benar-benar bisa menghafal kitab itu di luar kepala. Itu ibarat Anda ingin naik ke atap rumah, dengan menggunakan sebuah tangga, tapi Anda naik dengan cara meloncat langsung ke atas. Apa yang terjadi? Ya Anda akan terjatuh. Walhasil, Anda akan gagal. Berapapun banyaknya buku yang Anda baca, pada akhirnya ilmu Anda tidak akan terlihat matang. Karena sejak awal Anda sudah memulainya dengan cara yang salah. 

Itulah sebabnya para ulama dulu punya perhatian besar dalam menyusun kitab-kitab matan. Hampir sebagian besar ilmu-ilmu keislaman itu ada matan-matannya. Dalam ilmu nahwu, misalnya, kita mengenal matan ajurumiyyah. Dalam balaghah, ada matan al-jauhar al-maknun. Dalam ilmu kalam, ada matan al-kharidah al-bahiyyah. Dalam ushul fiqh, ada matan al-waraqat. Dalam ilmu mantik, ada matan sullam, dan lain-lain. Matan-matan itu, kata Syekh Ahmad Syadzili, tidak ditulis untuk menyajikan wawasan yang menyeluruh dan mendalam tentang ilmu yang ingin Anda kaji. Tapi dia memberikan gambaran-gambaran umum. Dan itu mutlak Anda butuhkan sebelum Anda menekuni suatu bidang keilmuan secara serius. Karena itu, kalau mau mendalami sebuah ilmu, maka mulailah dengan matan-matan itu terlebih dulu. 

Kedua, belajar secara bertahap (attadarruj). Ini yang seringkali luput dari perhatian para penuntut ilmu di era sekarang. Ada beberapa orang yang mengira bahwa kalau kita membaca banyak buku dalam suatu bidang keilmuan, maka kita akan menjadi ahli dalam bidang itu. Wah, kalau punya pandangan seperti itu, maka Anda sudah keliru besar. Orang yang banyak membaca belum tentu bisa menjadi seorang ulama. Tapi, untuk menjadi seorang ulama, memang kita perlu banyak membaca. Tapi ingat, membaca secara bertahap. Ingat, secara bertahap. Bukan meloncat-loncat. Selesaikan kitab-kitab dasar dulu, baru setelah itu beralih ke kitab-kitab menengah. Kalau yang dasar dan menengah sudah tuntas, baru Anda beralih ke kitab-kitab yang besar. Jangan Anda baca semuanya secara serentak. Karena ketika itu ilmu yang Anda dapat bisa saling bertabrakan satu sama lain. 

Kalau mau belajar ilmu nahwu, nggak bisa Anda langsung loncat ke kitab alfiyah. Mau ahli dalam bidang ushul fikih? Pelajari buku-buku dasarnya terlebih dulu. Tanya kepada mereka, apa kitab-kitab dasar yang harus saya baca untuk mendalami ilmu itu? Dan jangan loncat-loncat. Masalahnya, syahwat keilmuan seringkali mendesak kita untuk terburu-buru dalam menghasilkan ilmu. Dan itu penyakit. Kalau Anda merawat penyakit itu, sampai kapanpun Anda belajar, kemampuan Anda ya gitu-gitu aja. Nggak akan mengalami peningkatan yang signifikan. Jadi, intinya, kalau mau jadi ahli dalam suatu bidang keilmuan, selain memahami kitab-kitab dasar, Anda juga harus belajar secara bertahap. Tidak boleh meloncat ke kitab yang satu, sebelum menuntaskan kitab yang menjadi pengantarnya terlebih dulu.

Ketiga, keberurutan (at-tartib). Mungkin ada yang bertanya, apa bedanya keberurutan dengan kebertahapan, yang sudah kita paparkan dalam poin yang kedua? Jadi begini. Dalam poin kedua, yang kita maksud ialah kebertahapan dalam mempelajari sebuah disiplin ilmu. Sedangkan yang kita maksud dengan keberurutan ialah keberurutan dalam mempelajari setiap ilmu. Di luar sana ada ilmu-ilmu yang baru bisa kita pelajari dengan baik, kalau kita menekuni ilmu yang lain terlebih dulu. Misalnya Anda mau belajar ilmu kalam. Pemahaman kita tentang istilah-istilah penting dalam ilmu kalam itu sangat bergantung, misalnya, pada pemahaman kita tentang istilah-istilah dalam ilmu logika, maqulat, dan juga ilmu debat. Jadi, bagusnya, sebelum membaca buku-buku kalam, Anda pelajari ilmu-ilmu itu terlebih dulu. Itulah yang kita maksud dengan keberurutan itu. 

Mau belajar ushul fikih? Tidak mungkin Anda bisa mempelajari kitab-kitab ushul fikih dengan baik, kalau Anda sendiri tidak paham ilmu nahwu dan sharaf. Orang nggak bisa bahasa Arab, nggak paham nahwu sharaf, tiba-tiba ingin membaca kitab waraqat. Dengan alasan bahwa dia ingin memahami ushul fikih. Tidak bisa. Sampai kapanpun dia tidak akan bisa menguasai ilmu itu, tanpa memahami ilmu-ilmu alatnya terlebih dulu. Untuk memahami kitab-kitab berbahasa Arab, nahwu dan sharaf itu memang mutlak kita butuhkan. Intinya belajar ilmu itu harus berurutan. Pelajari ilmu yang menjadi pengantarnya terlebih dulu. Baru setelah itu mempelajari ilmu yang ingin Anda tuju. Dan lagi-lagi, di sinilah penyakit para penuntut ilmu itu kembali muncul. Banyak orang yang tidak mau belajar secara berurut. Maunya belajar secara langsung aja. Pada akhirnya, dia tidak akan berhasil dalam proses menuntut ilmu itu. Karena adanya cara tempuh yang salah tadi. 

Keempat, memahami pengelompokkan kitab. Syekh Ahmad Syadzili menyebutnya dengan istilah tashnif. Maksudnya, dalam poin yang keempat ini, Anda harus tahu mana kitab-kitab yang memang ditulis setelah istilah-istilah dalam suatu ilmu itu ditulis dengan matang. Dan mana kitab-kitab yang lebih banyak merekam pendapat pribadi penulisnya masing-masing, bukan mendedahkan poin-poin penting yang disepakati oleh para ahli dalam bidang ilmu itu sendiri. Syekh Ahmad Syadzili misalnya memberi contoh kitab mahakk an-nazhar, dan kitab al-qisthash al-mustaqim, yang ditulis oleh Imam al-Ghazali. Itu adalah kitab yang ditulis dalam ilmu mantik, dan keduanya tidak termasuk kitab yang sulit. 

Sekarang, misalnya, boleh nggak kalau saya ingin mendalami ilmu mantik, lalu saya mulai perjalanan saya dengan kedua kitab itu, atau salah satu dari kedua kitab itu? Tidak disarankan. Kenapa? Karena kedua kitab itu dilahirkan sebelum buku-buku logika ditulis secara sistematis, dan berisikan istilah-istilah yang dijelaskan dengan matang. Dua kitab itu, kata Syekh Ahmad, justru lebih banyak memuat pendapat-pendapat Imam al-Ghazali, dan istilah-istilah yang dirumuskan oleh beliau sendiri. Kalau mau belajar ilmu mantik, mulailah, misalnya, dengan kitab sullam. Karena kitab itu ditulis setelah buku-buku mantik disusun secara matang. Dan kitab itu sendiri, seperti pengakuan banyak ulama, berupaya untuk menyuguhkan saripati dari uraian yang terserak di berbagai buku itu. 

Jadi, intinya, kalau mau belajar, mulailah perjalanan Anda dari kitab-kitab yang direkomendasikan oleh para ulama untuk dipelajari. Yaitu kitab-kitab yang memang sejak awal didesain sebagai text book, yang berisikan gambaran-gambaran umum tentang suatu ilmu itu. Dengan istilah-istilah yang memang sudah menjadi kesepakatan bersama. Bukan istilah-istilah yang dirumuskan oleh penulisnya sendiri. Nah, setelah Anda mengunyah buku-buku semacam itu, barulah setelah itu Anda bebas mengakses buku manapun yang Anda mau. Saya sangat yakin. Kalau orang belajar ilmu-ilmu agama dengan cara seperti ini, di masa yang akan datang akan terlahir banyak ulama di lingkungan kita. Ulama yang benar-benar ulama. Bukan ulama yang hanya sebatas mengandalkan gelar dan kepopuleran dirinya semata. Demikian, wallahu ‘alam bisshawab.

Bagikan di akun sosial media anda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *