Bukan Karena Usaha Kita

Beberapa hari terakhir ini entah kenapa saya merasakan kemalasan yang begitu luar biasa. Serba magerlah intinya. Mau nulis juga mager. Mau ibadah juga mager. Saya renungkan sebab kemageran itu di malam hari. Kenapa saya tiba-tiba menjadi semalas ini? Biasanya kita melakukan aktivitas dengan penuh semangat dan rasa suka cita. Sekarang kenapa tiba-tiba mengalami kemalasan luar biasa? Tentu saya sadar. Kemalasan itu adalah hal yang manusiawi. Tapi, lagi-lagi nalar saya terus bertanya-tanya, kenapa saya bisa terjatuh dalam kemalasan itu?

Renungan saya berakhir pada satu jawaban. Bahwa terlepas dari apapun upaya yang kita kerahkan, pada akhirnya kita harus mau mengakui, bahwa di balik semua itu ada Tuhan yang Maha mengatur segala urusan. Saya semakin percaya bahwa kebaikan yang pernah saya tunaikan selama ini bisa terlahir semata-mata karena mendapatkan taufiq dari Allah Swt. Bukan karena usaha saya sendiri. Ya, usaha kita itu memang ada. Tapi, bagi saya, itu tak lebih sekedar tampilan biasa saja. Pada intinya bukan itu yang menghasilkan perbuatan kita. 

Mungkin ada yang berkata, “ah, itu soal cara Anda mengelola pikiran dan mental saja. Kalau Anda mau berusaha, Anda bisa saja menghilangkan kemalasan itu.” Ungkapan itu bisa jadi benar. Memang itu soal pengendalian kita terhadap diri kita sendiri. Tapi, apakah upaya kita itu bisa berjalan secara mandiri? Apakah kemalasan itu bisa kita hilangkan dengan kerja keras kita sendiri, tanpa adanya campur tangan “sosok” yang lain? 

Keimanan yang kita peluk akan menafikan itu. Karena keimanan akan keesaan Allah mengharuskan kita untuk percaya, bahwa semua perbuatan manusia itu diciptakan oleh Allah Swt. Faktanya saya pun merasa—dan barangkali ini bukan untuk pertama kalinya—meskipun saya berusaha untuk melakukan sesuatu, terkadang ada saja halangan yang membuat saya tidak bisa melakukan sesuatu itu. 

Entah itu kaki yang tiba-tiba pegel. Mata yang tiba-tiba mengantuk. Atau rasa malas yang terlahir secara tiba-tiba. Melihat orang rajin ibadah di bulan Ramadan, saya ingin sekali mengikuti jejak mereka. Tapi kok rasanya sulit banget. Ibadah saya masih benar-benar kurang dibandingkan mereka.  Padahal, dulu ada masa-masa di mana saya begitu bersemangat melakukan itu. Sekarang agak berkurang. 

Dan lagi-lagi kesadaran terdalam saya pun kembali terketuk, bahwa itu semua hanya bisa terwujud kalau kita mendapatkan taufiq dari Allah Swt. Manakala Allah tak menghendaki adanya taufiq itu, maka kita pun akan kesusahan. Kalau taufiq itu ada, buktinya orang-orang yang berfisik lemah pun bisa melakukan itu. Orang-orang yang berkemampuan terbatas pun bisa melakukan itu. 

Sekarang saya menulis di depan laptop. Kenyataan lahiriah menunjukkan, bahwa ini adalah hasil dari upaya saya. Padahal, kalau saja Allah tidak memberikan taufiq, jari-jemari saya tidak mungkin bisa bergerak. Dan tidak mungkin juga terlahir semangat untuk menulis seperti sediakala. Dalam teologi kaum Sunni, perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan. Meskipun dalam proses kelahirannya tetap melibatkan potensi hamba yang turut mengupayakan. 

Saya kira, dalam beragama, kesadaran semacam ini penting untuk dipupuk sedalam mungkin. Kita perlu membangun kesadaran, bahwa semua kebaikan yang kita lakukan, atau manfaat yang kita berikan kepada orang, itu bukanlah hasil dari kerja keras kita semata, melainkan taufiq yang berasal dari Allah Swt. Karena itu kita tidak perlu merasa bahwa Tuhan harus membayar tuntas amal perbuatan kita. 

Dengan kesadaran semacam ini, maka kita pun bisa memperdalam kehambaan kita. Ketika kita berbuat baik—apapun bentuk kebaikan itu—kita bisa terhindari dari sifat yang tercela, dengan cara memuji diri sendiri, kagum dengan perbuatan diri sendiri, apalagi merasa bahwa apa yang kita hasilkan adalah buah dari kerja keras kita sendiri. Kesadaran semacam ini dapat menyingsingkan ketergantungan pada amal perbuatan diri sendiri. 

Sekian banyak orang di luar sana yang hidup dengan fisik sehat, tapi mereka malas beribadah. Bahkan enggan menunaikan ibadah puasa. Karena mungkin mereka tidak mendapatkan taufiq dari Allah Swt, gara-gara pilihan dan perbuatan mereka sendiri, yang enggan untuk menjemput taufiq itu. Sebaliknya, boleh jadi ada orang yang selama siang hari berlelah-lelah untuk mencari nafkah. Kerja dengan kucuran keringat. Tapi di malam hari dia masih bisa khusyuk dalam menunaikan ibadah. Karena dia mendapatkan taufiq dari Allah Swt. 

Sebagai hamba, hidup kita tidak akan keluar dari dua keadaan. Berbuat taat dan berbuat maksiat. Ketika kita berbuat taat, kehambaan mengharuskan kita untuk sadar, bahwa ketaatan kita adalah karunia dari Allah Swt. Dan ketika kita terjatuh dalam perbuatan maksiat, kita juga harus yakin, bahwa Allah Swt menunggu kita untuk bertaubat dan meminta ampunan. Sebagaimana Allah bisa kita dekati dengan perbuatan taat, Dia juga bisa kita dekati melalui pintu taubat. Begitu petuah yang sering saya simak dari Syekh Yusri. 

Pada akhirnya, jika kita hidup dengan cara berpikir seperti itu, tidak ada kata putus asa dalam beragama. Juga tidak ada kata sombong atas perbuatan baik yang terlahir dari badan kita. Besarnya kemaksiatan tidak perlu membuat kita putus harapan. Karena kemaksiatan itu bisa jadi jalan pembuka untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Banyaknya amal kebaikan juga tidak harus membuat kita sombong. Karena toh pada akhirnya itu semua adalah karunia Tuhan. Kita semua adalah hamba. Dan perbuatan hamba tidak akan bisa lepas dari campur tangan Tuhannya. Demikian, wallahu ‘alam bisshawab.

Bagikan di akun sosial media anda