Lemahnya Pembelajaran Ilmu Kalam di Kampus-kampus Islam

Manakala disebut istilah Ilmu Kalam, Ilmu Tauhid, atau Ilmu Akidah, bayangan orang Indonesia pada umumnya akan langsung tertuju pada satu disiplin keilmuan Islam yang mengulas tentang dasar-dasar keyakinan. Baik itu yang menyangkut ketuhanan, kenabian maupun hal-hal ghaib, seperti halnya sorga, neraka, azab kubur, syafaat, dan lain-lain. Apakah benar ilmu tersebut membahas persoalan-persoalan seperti tadi? Betul. Memang itulah pembahasan utamanya. Tapi, apakah ilmu itu hanya membahas tentang dasar-dasar keyakinan saja? Bisa dipastikan jawabannya adalah tidak. 

Ilmu Kalam jauh lebih kaya ketimbang apa yang dibayangkan oleh sebagian orang. Di samping mengulas dasar-dasar keyakinan, ilmu itu juga menyediakan seperangkat alat untuk membantah pikiran-pikiran yang menyimpang. Kalau ada orang yang memandang ilmu itu sebagai ilmu yang sudah kuno—dan karena itu dianggap tidak lagi relevan untuk dipelajari—maka pandangan itu pastilah terlahir dari orang bodoh, yang belum merasakan kedalaman dan keluasan dari ilmu itu sendiri. Kalaupun pernah, yang dia pelajari pasti hanya sebatas kulit. Sementara kita tahu bahwa yang merasakan kulit belum tentu sudah mengunyah isi.

Memang, seperti kata pepatah, manusia itu seringkali memusuhi, atau menyepelekan, apa yang tidak mereka tahu. Saya ingin berikan satu contoh kecil saja, betapa pembelajaran ilmu kalam di Indonesia itu tampaknya masih terbilang minim. Cukup sering saya jumpai orang, baik itu mahasiswa maupun akademisi perguruan tinggi, yang memandang bahwa iman kita terhadap doktrin-doktrin keagamaan tertentu itu hanya sebatas kepercayaan saja. Kalaupun disertakan dalil-dalil, dalil-dalil itu, dalam pandangan mereka, adalah dalil-dalil yang dikemukakan dalam bingkai keimanan semata. Bukan dalil-dalil yang bersifat ilmiah. Jadi, intinya, kalau sudah bicara iman, yang terpenting itu percaya saja. Tanpa harus mempersoalkan apakah kepercayaan itu sendiri bersandar pada dalil-dalil yang sahih atau tidak.  

Paparan argumentasi yang bergitu berlimpah itu tidak dipandang sebagai dalil yang bersifat ilmiah. Karena itu, dalam bayangan mereka, kalau kita melakukan kajian ilmiah tentang Islam, misalnya, atau al-Quran, maka iman kita harus dipisahkan dari kajian itu. Atau paling tidak, jangan dibawa-bawa, dan jangan dicampuradukkan. Tidak masalah kalau kemudian dalam sebuah kajian Anda sampai pada kesimpulan A, sementara kesimpulan A itu sendiri bertentangan dengan keimanan Anda. Itu tidak masalah bagi mereka. Kenapa? Ya karena itu tadi. Bagi mereka, iman itu satu hal. Kajian ilmiah itu hal yang lain lagi. 

Teologi dalam Islam itu, dalam bayangan mereka, sama saja teologi dalam agama-agama lain. Sama-sama tidak ilmiah. Sama-sama berbasis pada kepercayaan semata. Teologi tidak mereka posisikan sebagai ilmu. Karena itulah kesimpulan-kesimpulannya pun tidak dipandang sebagai kesimpulan ilmiah. Saya sudah jelaskan bantahan atas klaim kosong semacam ini dalam berbagai tulisan dan satu ceramah utuh, yang bisa Anda akses melalui link ini. 

Apakah Anda termasuk orang yang sudah teracuni dengan cara berpikir semacam itu? Pelan-pelan saya perhatikan, ternyata memang banyak orang yang berpandangan seperti itu. Mirisnya lagi, racun semacam itu juga hinggap di benak para doktor studi Islam, dan orang-orang lulusan pesantren. “Ini kajian ilmiah.” Kata mereka. “Jangan campur adukkan itu dengan masalah iman.” “Anda tidak perlu resah dengan kesimpulan-kesimpulan semacam ini. Karena ini kajian ilmiah. Sementara iman itu urusan hati dan kepercayaan saja.” “Ini hasil kajian ilmiah. Tidak nyambung kalau Anda mengkritik itu dengan sudut pandang teologi.” Dan ungkapan-ungkapan serupa lainnya.

Tahukah Anda kenapa ungkapan-ungkapan semacam ini bisa mengemuka? Ya. Karena sejak awal mereka sudah keliru dalam memaknai konsep iman itu sendiri. Konsep iman yang mereka terima adalah iman dalam versi pemahaman orang-orang di luar Islam. Bukan iman versi teologi Islam. Padahal, iman dalam Islam tidak dirumuskan dengan kesimpulan yang sedangkal itu. Ini hanya secuil bukti saja untuk menegaskan, bahwa tradisi pembelajaran Ilmu Kalam di Indonesia itu masih terbilang lemah. Sependek yang saya tahu, di kampus-kampus Islam Indonesia itu, kalau belajar Ilmu Kalam, yang dipelajari itu paling sejarahnya, atau sejarah sekte-sektenya. 

Belajar sejarah sekte kalam diidentikkan dengan mempelajari ilmu kalam itu sendiri. Padahal itu dua hal yang berbeda. Sekalinya mengkaji kitab-kitab kalam, atau buku-buku tauhid, kajian itu tidak beranjak pada pembacaan teks semata. Tidak diungkap apa saja mutiara-mutiara berharga di balik bangunan teks itu. Kalau belajar akidah, yang mereka pelajari ya itu-itu saja. Sifat 20, mustahil 20, jaiz satu. Yang wajib bagi rasul ada 4, mustahil 4, yang jaiz satu. Setelah itu bangunlah kepercayaan pada hal-hal ghaib, seperti sorga, neraka dan lain-lain. Dan pembelajaran akidah pun dianggap selesai. Itulah ilmu kalam dalam bayangan mereka.  

Ya, bagi orang awam memang itu sudah selesai. Tapi, bagi seorang akademisi dan intelektual, sejujurnya itu baru permulaan untuk membuka kekayaan khazanah yang begitu luar biasa dari ilmu itu. Para ulama dulu itu tidak merumuskan kaidah keilmuan secara sia-sia. Apa yang mereka paparkan sekian ratus silam, praktek dan penerapannya kadang masih bisa kita jumpai di era sekarang. Sayangnya, kita tidak begitu serius mempelajari itu. Tapi belum apa-apa sudah membaca buku-buku bikinan orang Barat. Ingin tampil sok modern. Dibacalah buku-buku dari luar. Sementara ilmu warisan ulamanya sendiri belum dikunyah dengan matang. Konsekuensinya, ambyarlah sudah bangunan keilmuan mereka. 

Padahal, kalau saja orang mempelajari khazanah ilmu kalam itu dengan baik, dan memulung mutiara-mutiara berharga dari metode keilmuan para mutakallimin, tidak mungkin muncul ungkapan-ungkapan seperti di atas tadi. Juga tidak mungkin mereka bisa terpengaruh dengan pikiran-pikiran sampah yang kerap dibungkus dengan bahasa-bahasa ilmiah itu. Sebab, buku-buku kalam yang berjilid-jilid itu memaparkan segudang bukti, bahwa butir-butir keimanan yang dipeluk oleh umat Muslim itu tidak terlahir dari kepercayaan semata. Tapi justru semua itu terlahir dari pengkajian ilmiah yang benar-benar mendalam. Dengan paparan argumen rasional yang benar-benar memukau. 

Tidak perlu heran kalau Anda menjumpai beberapa kalangan yang keberatan dengan cara saya dalam mengkritik Mun’im. Saya maklumi keberatan itu, karena sebagian dari mereka mungkin punya bayangan seperti itu tadi. Mun’im itu melakukan kajian ilmiah, kata mereka. Dan iman kita tidak perlu merasa tergangggu dengan adanya kajian-kajian itu. Mereka lupa, bahwa yang dipaparkan Mun’im itu justru dapat merusak basis dari keimanan itu sendiri. 

Dan iman dalam Islam memang berbasis pada argumen-argumen ilmiah, sehingga tidak dipisahkan dari kajian ilmiah itu sendiri. Kenapa bisa begitu? Ya karena apa yang diimani itu sendiri merupakan kesimpulan dari kajian ilmiah. Lalu di mana sisi ilmiahnya ketika dalam mengkaji Anda mengesampingkan kesimpulan-kesimpulan itu?  Tak ada satu butir keyakinan pun dalam Islam, kecuali ada pemaparan dalilnya. Dan bangunan argumen ilmiah itulah yang hendak diacak-acak oleh Mun’im. Bagaimana bisa Anda memandang itu sebagai persoalan sepele dan biasa? 

Kemungkinan besar, orang-orang yang memaklumi gagasan Mun’im itu memang nggak membaca pikiran orang itu dengan baik. Atau mereka membaca, tapi nggak sadar di mata titik-titik kebusukan aslinya. Mereka mudah tertipu dengan kulit. Tapi tidak sadar dengan isi. Persis seperti orang yang terlena dengan sirup marjan. Padahal isinya sendiri adalah racun yang mematikan. Kritikan keras yang saya alamatkan untuk manusia yang satu itu sungguh tak sebanding dengan setumpuk kekurangajaran dia terhadap Islam dan dasar-dasar ajarannya. Itu kalau Anda sadar. Sayang, yang nggak sadar dan nggak membaca ini kadang paling rajin berkomentar. Mereka membangun narasi sekuat mungkin bahwa cara mengkritik saya itu salah. 

Sayangnya, mereka nggak sadar, bahwa kalaupun cara itu salah, kesalahan itu tidak akan sebanding dengan kerusakan yang terpendam di balik gagasan orang itu. Bagi yang akrab dengan dunia perdebatan yang ditampilkan oleh para ulama, diksi-diksi yang saya utarakan sebetulnya biasa-biasa saja. Tidak ada yang aneh. Apalagi kalau itu ditujukkan pada orang yang ingin mengacak-acak agama. Saya sudah paparkan itu dalam tulisan sebelumnya. Mungkin, bagi mereka yang ngotot mempersoalkan cara saya itu, kehormatan seorang Mun’im jauh lebih agung dari kehormatan kitab suci mereka sendiri. Begitulah resiko kalau orang tidak mendalami ilmu kalam dengan baik. Tidak sadar dengan apa-apa yang ingin merusak agama mereka sendiri. 

Kalau saja para pelajar Muslim mendalami ilmu dengan matang, langsung merujuk pada sumber-sumber primernya, bukan buku-buku terjemahan semata, saya kira orang-orang seperti Mun’im ini tidak akan mendapatkan tempat di Indonesia. Pikiran-pikiran sampah yang dibalut dengan paparan ilmiah hanya mungkin menipu orang-orang yang memang lemah dalam ilmu itu. Ilmu kalam yang hakiki itu bukan hanya mengulas dasar-dasar keyakinan, tapi juga menyediakan alat untuk meneguhkan dasar-dasar keyakinan itu, dan membantah pikiran-pikiran yang ingin meruntuhkannya. 

Dalam ilmu tersebut, kita belajar metode kritik. Belajar cara membangun argumen. Mematahkan argumen dengan argumen. Dan, yang tidak kalah penting itu, ilmu kalam dapat memperkokoh rasionalitas kita dalam beragama, sehingga kita tidak akan mudah terpengaruh oleh pikiran-pikiran luar. Para teolog Muslim itu paling anti dengan yang namanya dogma. Kalau mereka bicara, mereka akan selalu menuntut Anda untuk menggunakan rasionalitas. Kalau Anda tidak punya argumen, atau argumen Anda bertentangan dengan nalar sehat, pergilah Anda dari lingkungan kami! Buang jauh-jauh argumen Anda itu kedalam tong sampah. 

Karena argumen yang bertentangan hukum akal memang layak disebut sampah. Apalagi kalau benar-benar terbukti merusak dan bisa menimbulkan fitnah, seperti pikiran Mun’im itu. Mun’im mendapatkan tempat di kampus-kampus Indonesia, salah satu sebabnya, hemat saya, karena pembelajaran Ilmu Kalam memang masih lemah di kampus-kampus itu. Apa kenal para akademisi di tanah air itu dengan kitab-kitab seperti Syarh al-Mawaqif, atau Syarh al-Maqashid, misalnya, dan membacakan mutiara-mutiara berharga dari kitab itu kepada para mahasiswanya? Sepertinya nggak ada. Karena untuk memahami kitab semacam itu memang dibutuhkan perangkat yang tidak ringan. Logika saja tidak dipelajari dengan serius, bagaimana mungkin mereka bisa mengunyah kitab para raksasa intelektual Islam itu? Padahal itu sangat penting. 

Wajar saja. Ketika menjumpai pikiran orang-orang Ateis dan sekuler, atau pikiran didikan Orientalis seperti Mun’im, mereka pun menyambutnya dengan sepenuh hati. Tak ada keberatan sama sekali. Sekurang-kurangnya, kalaupun tidak menolak, mereka memandang itu sebagai sesuatu yang biasa dan wajar. Padahal, kalau saja mereka tahu apa sisi-sisi terdalam dari pikiran orang itu, dan sadar akan konsekuensi-konsekuensi akhirnya, respon mereka tampaknya tidak akan jauh berbeda dengan respon saya sendiri. Bahkan boleh jadi lebih keras dari itu. Sebagai upaya untuk membentangi nalar dan keimanan generasi Muslim di era sekarang, saya kira mempelajari ilmu ini merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditawar. Kalau tidak, maka para perusak agama itu akan selalu mendapatkan tempat di negeri kita. Demikian, wallahu ‘alam bisshawab.

Bagikan di akun sosial media anda