Kajian KeislamanKritikTerkiniTerpopuler

Bukti Kebiadaban Mun’im Terhadap Kitab Suci Umat Muslim

Tentu Anda masih ingat dua postingan di akun facebook saya yang menampilkan perevisian Mun’im atas surat al-kafirun, yang memandang bahwa surat tersebut kelebihan alif. Kata la panjang yang bermakna penegasian, menurut Mun’im, harusnya dirubah menjadi la pendek yang bermakna penegasan. “Sungguh aku menyembah apa yang kalian sembah.” Itulah toleransi yang sejati menurut Mun’im. Sementara firman Allah yang dibaca oleh umat Muslim sekolong jagat, menurut pemahamannya, itu tidak mencerminkan toleransi yang sejati. Dan, bagi dia, menggugat firman Tuhan dengan cara seperti itu adalah sah secara akademis.  

Dengan kebiadaban perbuatannya itu, tentu agak aneh ketika dia menolak untuk disebut telah mengkritik al-Quran. Padahal faktanya menunjukkan bahwa dia bukan hanya mengkritik, tapi juga berani merubah redaksi kitab suci itu sendiri, dengan alasan pengkajian historis, dan ingin mencoba berbagai kemungkinan bacaan. Tanpa punya landasan qiraat yang sahih sama sekali. Dan dia lupa bahwa al-Quran yang dibaca oleh kaum Muslim sekarang itu punya data historis yang tidak kalah kuat ketimbang data tertulis. Yaitu periwayatan yang bersifat mutawatir. Buktinya banyak. Para penghafalnya tersebar di berbagai belahan dunia. Dan mereka semua punya sanad yang sampai kepada Rasulullah Saw.  

Tidak cukupkah fakta itu dijadikan sebagai fakta historis? Sayang, dia bukanlah tipe sarjana objektif seperti yang terbayang dalam khayalan para pemulung gagasannya. Baiklah. Sekarang kita ingin memotret sisi kebiadaban Mun’im yang lain, yang sudah bersikap kurangajar dalam mempermainkan kitab suci umat Muslim itu. Tulisan ini sebetulnya hanyalah penegasan, dan juga memuat sedikit pengulangan, dari tulisan-tulisan sebelumnya. Untuk menangkap sisi kebiadaban Mun’im yang satu ini, saya sarankan Anda untuk menyimak kembali pemparan saya di sini, kemudian tulisan ini, dan juga pemaparan di video ini, dan video ini. Setelah semuanya diserap, sekarang mari kita mulai pembuktikan kita melalui uraian sebagai berikut. 

Dalam bayangan Mun’im, orang yang beragama tauhid itu ialah orang yang percaya kepada Tuhan. Karena itu, tidak heran kalau orang Kristen dia masukkan sebagai penganut agama tauhid. Orang musyrik pun dia katakan sebagai penganut agama tauhid. Padahal, dari penamaannya saja sudah jelas, bahwa kata “tauhid” itu sendiri bermakna pengesaaan Tuhan. Agama tauhid artinya ialah agama yang mengesakan Tuhan. Sementara orang musyrik jelas-jelas menyekutukan Tuhan. Ya, memang mereka percaya kepada Allah. Tapi, masalahnya, mereka menjadikan tuhan-tuhan lain selain Allah. Dan karena itulah mereka disebut musyrik. 

Lalu kok bisa-bisanya Anda memasukkan orang musyrik sebagai penganut agama tauhid? Kan mereka jelas-jelas tidak mengesakan Tuhan? Tidak perlu heran. Memang begitulah kalau orang tidak mendalami ilmu logika dan ilmu akidah dengan baik. Dia akan mudah terjatuh dalam kesalahan receh semacam ini. Mun’im tidak punya kejelian dalam mengkonsepsi istilah-istilah kunci yang dijadikan bahan kajiannya dengan baik. Dan itu cukup sering saya jumpai dalam berbagai halaman bukunya. Tidak becus membuat definisi. Tapi sudah berani ngelantur sana-sini. 

Lebih kurangajaranya lagi, Mun’im mengklaim bahwa penyebutan al-Quran terhadap suatu kelompok sebagai “kafir” atau “musyrik” itu belum tentu menggambarkan mereka apa adanya! Artinya, kelompok yang dikatakan al-Quran sebagai kafir itu, kata Mun’im, belum tentu benar-benar kafir. Yang disebut al-Quran sebagai orang-orang musyrik juga belum tentu mereka benar-benar musyrik. Mereka itu beriman, dalam pandangan Mun’im. Tapi, al-Quran sengaja mengggunakan istilah-istilah itu sebagai retorika polemik untuk memenangkan perdebatan. 

Mari kita simak kembali pernyataannya dalam buku Islam Revisionis melalui kutipan di bawah ini:

“Al-Quran tentu menyadari bahwa umat Kristiani tidak mengimani tritseisme dan Trinitas itu meliputi Bapak, Anak dan Ruh Kudus, bukan Allah, Isa, dan Maryam. Dengan demikian, klaim al-Quran dapat dipahami sebagai argumen polemik untuk memenangkan sebuah perdebatan teologis yang rumit. Al-Quran menggunakan retorika tertentu untuk mendeskripsikan absurditas doktrin Kristen dari perspektif Islam. Dengan kata lain, al-Quran sebenarnya mengetahui bahwa umat Kristen tidak meyakini tiga Tuhan atau mengatakan Maryam sebagai uqnum Trinitas. Tuduhan itu lebih merefleksikan iklim polemik di mana al-Quran lahir.  Demikian juga ketika al-Quran menuduh (bayangkan, Mun’im menyebut al-Quran menuduh, dan ini cukup sering saya jumpai di berbagai halaman bukunya) para penganut agama lain telah menyekutukan Tuhan. Itu bagian dari retorika polemik al-Quran. Sebab, mereka bukan saja tidak menyebutkan diri musyrik, tapi juga menolak dikatakan menyekutukan Tuhan. Mereka adalah pengikut agama tauhid. (Islam Revisionis, hlm. 15-16)

Selanjutnya Mun’im menyebutkan sasaran yang ingin dia capai dari gagasan itu. Poinnya ialah sebagai berikut:

  1. Al-Quran tidak salah paham dalam soal Trinitas
  2. Menepis tuduhan pengaruh ajaran heretik dalam Islam
  3. Kalangan yang dituduh al-Quran sebagai kafir atau musyrik tidak berarti betul-betul kafir dan musyrik.

Itulah yang dia maksud dengan gagasan bahwa kritik al-Quran bersifat polemis itu. Jadi apa itu retorika polemik? Retorika polemik dalam pemahaman Mun’im ialah retorika yang digunakan untuk mengkritik pandangan lawan secara distortif dan dilebih-lebihkan (lihat kembali kutipan Mun’im yang saya sertakan dalam tulisan sebelumnya). Karena, menurut Mun’im, tujuan dari polemik itu ialah memenangkan perdebatan. Bukan memberi hidayah dan meluruskan yang salah. Padahal, konsekuensi logis dari gagasan itu pada akhirnya sama saja dengan mendustakan firman Tuhan itu sendiri. Atau, paling tidak, menisbatkan perbuatan fitnah, ketidakjujuran, dan kezaliman kepada Dzat yang Maha mulia, Allah Swt. Kenapa begitu? Saya sudah jelaskan ini dalam tulisan sebelumnya. Tapi kali saya ingin mempertegas kembali. Coba Anda cermati uraian ini dengan jernih.  

Al-Quran, misalnya, menyebut orang Kristen sebagai orang kafir. Tapi, menurut Mun’im, berdasarkan kutipan di atas tadi, kenyataannya belum tentu menunjukkan demikian. Maksudnya, apa yang dikatakan al-Quran kafir itu belum tentu benar-benar kafir. Bagi dia orang Kristen itu kaum beriman, bukan kafir (dan dia membuat satu artikel khusus tentang itu, sambil merevisi surat al-kafirun, lihat Islam Revisionis, hlm. 226-228). Dalam pandangan Mun’im, penyebutan orang Kristen sebagai kafir itu hanya sebagai retorika polemik saja. Itu artinya apa? Itu artinya firman Tuhan yang menyebut orang Kristen kafir itu tidak sesuai dengan kenyataan. Kalau tidak sesuai dengan kenyataan, apalagi namanya kalau bukan bohong? Dan tak ada perbuatan yang lebih biadab di dunia ini ketimbang menisbatakan perbuatan keji dan culas semacam itu kepada Allah Swt. 

Sudah sadarkah Anda sekarang di mana titik kekurangajaran dari pikiran manusia yang satu itu? Saya beri contoh lagi untuk memperjelas. Al-Quran menyebut kelompok tertentu sebagai musyrik. Pertanyaannya, apakah mereka benar-benar musyrik? Jelas, wong faktanya mereka menyekutukan Tuhan kok, dengan menjadikan patung-patung sebagai sesembahan selain Allah. Tapi, kalau mengikuti jawaban Mun’im, kenyataannya belum tentu begitu. Karena penyebutan musyrik itu, sekali lagi, dalam pandangan Mun’im, hanya retorika polemik yang dilebih-lebihkan saja. 

Pada kenyataannya, dalam pandangan Mun’im, orang-orang musyrik itu adalah penganut agama tauhid! Tapi al-Quran menyebut mereka musyrik. Apa tujuannya? Tujuannya adalah memenangkan perdebatan dengan mereka. Kalau begitu pemahamannya, maka otomatis firman Tuhan, dalam logika Mun’im, lagi-lagi tidak sesuai dengan fakta. Dan kalau tidak sesuai dengan fakta, bukankah itu yang namanya dusta? Dapatkah iman yang lurus menerima pandangan biadab semacam ini? Silakan Anda amati kembali pemaparan saya dalam tulisan-tulisan sebelumnya. 

Inilah kedok terdalam dari gagasan Mun’im yang menyebut al-Quran berpolemik itu, yang kadang tidak disadari oleh sebagian pemulung gagasan sampahnya. Memang hanya orang bloon yang bisa memunculkan pandangan semacam ini. Dan secara jujur kita harus katakan itu. 

Al-Quran, kata Mun’im, tahu orang Kristen itu menyembah satu Tuhan. Tapi mereka ditampilkan sebagai penyembah tiga Tuhan. Dan kritikan itu, menurut Mun’im, hanyalah bagian dari retorika polemik yang melebih-lebihkan pendapat lawannya. Padahal, kalau sekiranya benar Allah tahu orang Kristen itu menyembah satu Tuhan, niscaya mereka tidak akan digambarkan menyembah tiga Tuhan. Karena pengetahuan Allah tidak mungkin bertentangan dengan ucapan-Nya sendiri. 

Kalau Anda menyebut Allah tahu bahwa kelompok itu berpandangan A, kemudian ditampilkan sebagai kelompok yang berpandangan B, hanya demi memenangkan perdebatan dengan mereka, itu sama saja dengan Anda menuduh Allah (maha suci dari perbuatan ini) telah memfitnah dan berbuat culas terhadap hamba-hamba-Nya, hanya karena ingin menang debat dengan mereka! Karena ketika itu firman-Nya tidak menjelaskan fakta sebagiamana adanya. Lantas bisakah Mun’im memutus konsekuensi logis semacam ini? Mengerikan memang. Kelihatannya saja ilmiah, padahal isinya tak lebih dari pikiran sampah. 

Dalam dunia keseharian saja kita akan mencela perbuatan semacam itu. Dan Mun’im ingin melekatkan perbuatan itu kepada firman Tuhannya sendiri. Biadab. Bagi saya, kesimpulan dia yang satu ini adalah kesimpulan yang benar-benar biadab. Kekurangajarannya pada kitab suci dia kemas dalam bahasa-bahasa ilmiah. Padahal konsekuensi akhirnya adalah mendustakan kitab suci itu sendiri, dan melekatkan sifat-sifat yang tidak layak kepada Allah Swt. Tentu dia tidak akan terima dengan tuduhan itu. Tapi memang itulah konsekuensi logis dari gagasannya. 

Kalau dia tidak terima, maka dia harus bisa membuktikan, bahwa klaim al-Quran berpolemik itu tidak berkonskeuensi pada hal-hal yang kita sebutkan tadi. Bukan cuma sebatas menolak, seperti yang dia tunjukkan dalam tanggapan terakhirnya. Lantas bisakah dia memutus konsekuensi itu? Tampaknya Mun’im akan kesulitan untuk menjawab. Karena pada akhirnya dia harus menjungkalkan hasil penelitian disertasinya sendiri! Itulah kedok terdalam dari disertasi seorang Mun’im Sirry itu. Benarlah kata para ulama. Bahwa hawa nafsu orang-orang yang ingin mempermainkan al-Quran itu dari dulu sama saja. Intinya mereka ingin mengatakan bahwa firman Tuhan itu tidak sesuai dengan kenyataan, dusta, dan buatan manusia saja. Yang membedakan mereka hanyalah cara dan pengemasannya. 

Sekarang, saya kira, sudah tergambar dengan jelas, bahwa jantung terdalam dari gagasan al-Quran berpolemik itu dapat berkonsekuensi pada penisbatan hal-hal yang tidak layak kepada Allah Swt. Apakah Anda bisa menuduh Tuhan yang Maha kuasa telah memfitnah hamba-hamba-Nya, hanya demi memenangkan perdebatan dengan mereka? Apa Anda bisa menisbatkan perbuatan dusta kepada Tuhan Anda sendiri? Kalau Anda bersetuju dengan pandangan Mun’im, memang begitulah konsekuensi akhirnya. Saya tak bisa membayangkan ada seorang Muslim yang sudi menerima pandangan biadab semacam ini. Sayang, banyak di antara mereka yang tertipu begitu saja dengan kulit. Ketika isinya terkuak, mereka mungkin mulai bertanya-tanya: Sebiadab inikah gagasan seorang Mun’im Sirry itu? Ya, memang begitulah kenyataannya. Demikian, wallahu ‘alam bisshawab.

Bagikan di akun sosial media anda