Pengalaman Ceramah dan Beberapa Pelajaran Pentingnya
Waktu pulang ke Indonesia, pernah saya diminta beberapa kali untuk menyampaikan ceramah. Mula-mulanya ketika sempat bolak-balik ke masjid untuk menunaikan salat subuh berjama’ah. Selang beberapa hari kemudian, menjelang matahari terbit, seorang bapak-bapak bertanya, “adek rumahnya di mana?” Tanya beliau. “Di blok D, pak.” Jawab saya. “Kuliah di mana?”, “Di al-Azhar, pak.” Setelah itu berlangsunglah obrolan yang agak panjang di antara kami. Memang saya termasuk orang baru di daerah Kotabumi itu. Masa kecil saya sepenuhnya dihabiskan di kampung (Sukabumi). Ketika pergi ke kota, orang tua saya memasukkan saya ke Pesantren. Selesai nyantri, jadi pengajar di pondok. Selesai masa pengabdian, berangkat ke Kairo. Praktis tidak banyak yang saya kenal dari para tetangga rumah sekitar itu.
Pendek cerita, bapak-bapak itu pun menawari saya untuk mengisi ceramah di masjid itu. “Setiap hari minggu, ya, ba’da subuh.” Tutur beliau. “Ceramahnya tentang apa, pak?” Tanya saya. “Udah, ceramah tafsir saja.” Kajian tafsir dalam bayangan bapak-bapak tentu bukan menafsirkan al-Quran layaknya seorang mufassir. Maksudnya, mungkin, pikir saya, menjelaskan beberapa ayat al-Quran aja. Dari para ulama di Mesir saya belajar, bahwa salah satu jalan terbaik untuk berdakwah itu ialah menyampaikan materi yang sesuai dengan kebutuhan audiensnya. Berhubung kehidupan masyarakat kota itu sesak dengan hiruk pikuk duniawi, yasudah, saya ambillah materi-materi penyejuk batin, yang sebagian besarnya pernah saya terima selama mengaji kepada Syekh Yusri.
Apa hasilnya? Mereka suka sekali dengan materi semacam itu. Bahkan ada seorang bapak-bapak yang secara pribadi mendatangi saya, sambil bilang, “pak ustad kalau bisa dilanjutkan itu kajiannya ya. Saya suka sekali itu.” Sebagai seorang jomblo, nalar liar saya pun mulai bermain-main, “waduh jangan-jangan nanti ada yang bakal nawarin calon isteri nih kalau ceritanya begini mah.” Ketertarikan itu tampaknya disampaikan dari mulut ke mulut. Bermula dari masjid itu, saya pun mendapatkan undangan dari tempat yang lain lagi. Kali ini emak-emak. Ketua majlis taklim ibu-ibu dari masjid setempat meminta saya untuk mengisi satu kali dalam seminggu. “Ibu tahu nomer saya dari mana.” Tanya saya kepada seorang ibu-ibu yang menghubungi secara tiba-tiba. “Dari pak fulan.” Kebetulan si bapak ini adalah ketua DKM masjid yang tadi.
Selain mengisi mingguan, tak lama setelah itu saya juga diminta untuk mengisi ceramah dalam acara syukuran keluarga. Lagi-lagi audiensnya emak-emak. Otak jomblo saya pun mulai bertanya-tanya lagi, “habis ini kira-kira ada ibu-ibu yang mau nawarin anaknya nggak ya.” Sadar bahwa materi penyejuk batin itu disukai oleh orang-orang perkotaan, materi yang sama juga saya sampaikan di hadapan emak-emak pengajian itu. Lagi-lagi, mereka suka. Yang cukup membuat saya tertegun, di dalam pengajian itu hadir seorang teman dekat ibu saya. Mungkin, selesai pengajian, dia mengirim pesan ke ibu saya. Selesai mengaji, ibu saya pun menyampaikan pesan temannya itu. “Ceramah anakmu enak was (panggilan ibu saya).” Saya bahagia sekali dengan ungkapan itu. Sulit rasanya untuk dilupakan.
Setiap kali dapat amplop, sebagiannya selalu saya kasih ke ibu saya. Dengan penuh haru saya bilang, “ini ma buat mamah sebagian. Sisanya buat beli buku ya.” Setelah itu dapat undangan lagi dari masjid lain. Kali ini kumpulan majlis taklim se-kota bumi. Untuk pertama kalinya saya ceramah di hadapan audiens sebanyak itu. Materinya apa? Materinya seputar Parenting dalam Islam. Padahal saya sendiri, waktu itu, belum punya anak. Gimana punya anak. Orang nikah aja belon!
Saya lihat audiens pengajian itu ada juga yang dari kalangan ABG. Bayangan liar serupa muncul di kepala saya. “Gimana kalau habis ini ada ibu-ibu yang datang menawarkan anaknya.” Eh, bener, setelah itu ada ibu-ibu datang membawa anaknya. Tapi bayi. Kata si ibu, “tolong didoakan pak ustad ya.” Selesai dari situ, datang lagi undangan dari bapak-bapak masjid lain, yang merupakan rekan kerja dari ketua DKM masjid yang tadi. Bahkan ada rencana untuk “mengontrak” saya secara rutin mengisi di masjid itu. Mereka tertarik untuk mengaji kitab al-Hikam. Karena di awal ceramah, saya menyampaikan penjelasan seputar bait pertama dari kitab al-Hikam itu. Dan mereka suka sekali. Sayang, waktu itu saya sudah berniat untuk pulang ke Kairo. Karena itu saya nggak menyangggupi permintaan mereka.
Selang beberapa minggu kemudian saya pun menemukan jodoh saya, melalui jalan yang tidak disangka-sangka (saya pernah ceritakan ini dalam satu tulisan utuh). Intinya mah menikahlah ujungnya. Setelah menikah, pindahlah ke rumah isteri. Dan setelah itu terputuslah hubungan saya dengan bapak-bapak/ibu-ibu dari kotabumi itu. Di sana saya dengan para santri selama kuranglebih dua tahun. Dan dengan merekalah saya memulai episode kehidupan baru di tanah air. Banyak pelajaran yang saya dapat di sana. Dikit-dikit ada orang tua yang ngadu, belum lagi ngurusin santri yang bandel, belum mengajar, belum membagi waktu sama isteri. Tapi, anehnya, dalam dua tahun itu pula saya merasakan mendapatkan kemudahan dalam menulis. Kuantitas waktu berkurang. Tapi kualitas seperti bertambah. Mungkin itulah yang dalam bahasa agama disebut dengan keberkahan.
Apa pelajaran yang bisa dipetik dari potongan kisah di atas? Pertama, sisi terpenting yang perlu diperhatikan dalam berdakwah itu ialah gaya penyampaian, di samping juga bobot materi yang disampaikan. Masyarakat perkotaan itu nggak perlu tema yang berat-berat. Tema-tema yang ringan saja, tapi menyentuh detak jantung keseharian hidup mereka. Karena itu, saya sering bilang kepada adik-adik mahasiswa di sini (Kairo), bahwa di samping mengaji, kita juga perlu melatih kecakapan dalam berbicara. Bicara seenak mungkin. Karena kelak itulah yang menjadi salah satu penentu diterima atau tidaknya ilmu yang kita dapat. Sekian banyak orang yang paham kitab A, B, C dst, tapi ketika disuruh menyampaikan, dia nggak bisa. Lidahnya kelu dan tidak bisa berbicara banyak.
Atau bisa. Tapi penyampaiannya terasa garing. Kenapa bisa begitu? Ya karena nggak dilatih. Kerjaannya cuma menghafal dan mengaji. Tapi jarang berbicara dan berdiskusi. Jadi, melatih kecakapan berbicara ini sangatlah penting. Agar apa yang kita dapat bisa tersampaikan dengan baik, dan juga mendapatkan penerimaan yang baik. Gimana caranya? Sempatkan waktu untuk mengajar. Luangkan waktu untuk berdiskusi bersama teman-teman. Perlahan-lahan kecakapan itu pun akan terpahat dengan sendirinya. Di samping gaya penyampaian, kita juga perlu pintar-pintar dalam memilih materi pengajian. Yang saya tahu, masyarakat perkotaan itu paling tidak suka dengan materi-materi yang mengundang polemik dan perdebatan.
Singkirkan masalah khilafiyah itu jauh-jauh. Ceramah-ceramah semacam itu ada tempatnya tersendiri. Ketika diminta khotbah jum’at, sebisa mungkin saya juga selalu menghindari tema-tema semacam itu. Lain cerita kalau Anda hidup di lingkungan para akademisi. Bobot ceramah harus ditingkatkan. Kalau perlu, kemaslah ceramah dengan bumbu-bumu bahasa intelektual. Menjadi benarlah di sini ungkapan orang bijak, bahwa berdialog dengan manusia itu perlu memerhatikan tingkatan nalar mereka. Ceramah di hadapan emak-emak, bapak-bapak, berbeda dengan ceramah di hadapan para akademisi, para mahasiswa, apalagi kaum intelektual. Juga berbeda dengan ceramah di hadapan para santri, ataupun anak-anak muda pada umumnya.
Kalau tidak bisa ceramah, maka kita perlu melatih kecakapan dalam menulis. Sebab, ilmu yang kita dapat hanya bisa tersampaikan melalui dua jalan itu saja. Kalau bukan melalui lisan, maka melalui tulisan. Kalau ceramah nggak bisa, nulis nggak bisa. Tak ada kecakapan sedikit pun dalam dua hal itu, Anda mau belajar agama bertahun-tahun pun, sekalipun Anda bergelar tinggi, dan menelan kitab-kitab tebal, tak akan mudah Anda diterima oleh masyarakat. Kelak, orang-orang di luar sana tidak akan banyak yang mempertanyakan apa gelar Anda, lulus dengan predikat berapa, apalagi nilai pertahun ketika masa-masa Anda kuliah. Yang akan mereka pertanyakan ialah, apa yang bisa kita nikmati dari hasil belajar Anda? Atau apa yang bisa Anda sampaikan untuk kita?
Yang terpenting dalam belajar itu, hemat saya, bukan mendapatkan ilmu yang banyak. Syukur-syukur kalau ilmu yang banyak itu kita dapat. Yang terpenting itu ialah mempelajari dengan baik, bagaimana caranya agar wawasan kita yang terbatas itu bisa tersampaikan dengan enak. Punya wawasan sedikit, kalau bisa disampaikan dengan nyaman, orang akan terima itu. Sebaliknya, betapapun Anda punya wawasan yang banyak, kalau Anda tidak bisa menyampaikan dengan salah satu dari dua jalan tadi, ilmu Anda tidak akan banyak dimanfaatkan orang. Nggak bakal kepake lah bahasa kasarnya. Ilmu yang kita dapat, pada akhirnya, hanya terkubur di dalam kepala saja. Di situlah kita perlu melatih kecakapan dalam berbicara. Dan pada titik itulah kecakapan menulis itu penting sekali untuk kita asah. Karena dengan dua cara itulah kisa bisa mendakwahkan agama kita. Demikian, wallahu ‘alam bisshawab.