Kutipan Imam as-Suyuthi yang Disalahpahami oleh Mun’im Sirry (Bag. 2)
Melalui tulisan sebelumnya kita sudah menyinggung apa saja poin-poin penting yang tidak Mun’im sertakan dalam pemaparannya terkait klaim yang menyebut al-Quran sebagai kalam Nabi itu. Kita katakan di sana bahwa Mun’im sudah keliru dalam memaknai istilah “kalam” itu sendiri. Kita juga sudah singgung di sana bahwa persoalan apakah lafaz al-Quran itu berasal dari Allah atau bukan itu bukanlah persoalan khilafiyah. Ulama-ulama Muslim sepakat bahwa lafaz dan makna al-Quran itu berasal dari Allah.
Sebab, kalau dia hanya diturunkan sebatas maknanya saja, dan lafaznya berasal dari nabi, maka otomatis dia menjadi setara dengan hadits qudsi. Dan ketika itu dia tidak lagi dipandang sebagai mukjizat. Sementara para pakar bahasa Arab sudah membuktikan, bahwa bahasa al-Quran itu, dari sisi balaghah dan kefasihanya, dan juga sistematisasi ayat-ayatnya, itu tidak ada duanya sama sekali. Dengan adanya perbedaan itu, lantas bagaimana mungkin Anda menyebut al-Quran sebagai kalam nabi?
Pertanyaan yang ingin kita jawab sekarang ialah, adakah ulama Muslim yang setuju dengan pandangan Mun’im itu? Apakah ada ulama Muslim yang secara sarih menyebutkan bahwa al-Quran itu merupakan perkataan nabi? Kita sudah katakan: tidak ada. Memang Mun’im menyertakan sejumlah kutipan dari para ulama Muslim untuk membenarkan pernyataannya itu. Namun, sayangnya, kutipan itu tidak dia baca dengan cermat. Dan kesimpulan yang ditariknya bahkan terkesan meloncat-loncat.
Kutipan pertama, misalnya, yang ia duga bisa mendukung pandangannya, ialah kutipan dari dua tokoh besar dalam bidang ulumul qur’an. Yaitu Imam as-Suyuthi dan Imam Badruddin az-Zarkasyi. Dua ulama ini mencatat tiga pendapat terkait apa yang diturunkan dari al-Quran itu. Ingat, tiga pendapat ini bukan pendapat mereka semua. Mereka hanya mencatat dan mengutip saja. Dan kita akan lihat sejeli apa analisa Mun’im ketika mendedahkan ketiga pendapat ini. Mari kita lihat terlebih dulu apa yang dikatakan Mun’im ketika mengutip catatan dua ulama besar itu. Mun’im menulis:
“Pada abad ke-14 dan 15 M, dua penulis ulum Alquran ternama, Zarkasyi dan Suyuti, meriwayatkan tiga pandangan utama terkait pertanyaan bagaimana malaikat Jibril menyampaikan Alquran kepada Nabi. Pertama, Alquran diwahyukan dalam lafaz dan makna. Artinya, Jibril menghafalkan lafaz-lafaz Alquran dari lauhul mahfuz, dan menyampaikannya kepada Nabi. Kedua, Jibril menyampaikan maknanya dan Nabi yang mengekspresikannya dengan lafaz-lafaz Arab. Menurut Zarkasyi dan Suyuti, mereka yang berpendapat demikian menafsirkan Q.S. Asysyura [26]: 193-195 secara letterlijk. Ketiga, Jibril menerima Alquran dalam maknanya, kemudian dia mengekspresikan dengan lafaz Arab. Sang malaikat membaca Alquran di langit dalam bahasa Arab, kemudian turun ke bumi dan mendiktekannya kepada Nabi.”
Pendapat yang banyak dianut oleh mayoritas ulama Muslim, kalaulah enggan berkata semuanya, adalah pendapat pertama. Bahwa baik lafaz maupun maknanya, al-Quran itu semuanya berasal dari Allah Swt. Dan Nabi Muhammad Saw tidak punya wewenang untuk merubah dan mengotak-atik kalam Allah itu. Kata Syekh Ali Salim Abu ‘Ashi, Guru Besar Ilmu Tafsir dari Universitas al-Azhar:
“Kebenaran yang disepakati oleh umat Muslim, dan juga didukung oleh bukti-bukti rasional ialah kenyataan bahwa yang diturunkan kepada nabi melalui perantara malaikat Jibril itu ialah al-Quran dengan lafaz-lafaz sekaligus makna-maknanya. Nabi bukan hanya menerima makna-maknanya saja, kemudian dia mengungkapkan makna-makna itu dengan lafaznya, atau lafaz malaikat Jibril (al-Mustashfa fi ‘Ulum al-Quran, hlm. 78-79). Inilah pendapat yang dianut oleh banyak ulama sepanjang zaman.
Sekarang saya harap para pembaca memusatkan perhatian pada pendapat yang kedua. Karena inilah pendapat yang Mun’im jadikan sebagai sandaran untuk membenarkan pandangannya itu. Menurut pendapat ini, malaikat Jibril hanya menyampaikan makna-maknanya, kemudian Nabi mengetahui makna-makna itu, lalu dia pun mengungkapkan makna-makna itu ke dalam bahasa Arab. Perhatikan dengan baik. Pendapat ini menyatakan bahwa nabi mengungkapkan makna-makna itu dengan bahasa Arab. Apakah pendapat ini secara tegas menyebut al-Quran sebagai kalam nabi? Jelas tidak. Dan kenyataan bahwa nabi mengungkapkan makna-makna yang diterimanya ke dalam bahasa Arab tidak serta menjadikan apa yang dia ungkapkan itu sebagai kalamnya sendiri. Alasan logisnya sudah kita paparkan dalam artikel pertama.
Dalam kitab al-Mustashfa fi ‘Ulum al-Quran, Prof. Salim Abu Ashi juga menegaskan bahwa pendapat yang menyebut bahwa al-Quran hanya diturunkan maknanya ini tidak disadarkan pada bukti sama sekali (Lihat al-Mustashfa fi ‘Ulum al-Quran, hlm. 80). Penilaian yang sama dikemukakan oleh Syekh Yusri al-Hasani. Menurut beliau, sebagaimana diturukan dalam pengajian kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran, pendapat ini adalah pendapat yang lemah, yang tidak diambil oleh seorang ulama Muslim manapun. Dan faktanya memang pendapat ini tidak bersandar pada argumen yang kuat. Tapi anggaplah sekarang pendapat itu kita terima. Pertanyaannya, apakah pendapat itu cukup untuk mendukung pernyataan yang mengklaim al-Quran sebagai kalam nabi?
Analisis Logis
Kalau Anda cermati dengan baik, pendapat di atas tidak menyebutkan nabi mengekspresikan makna-makna itu dengan bahasanya, lisannya, maupun kalamnya. Pendapat itu tidak menyatakan demikian. Anda cermati catatan Imam as-Suyuthi ini dengan baik.
والثاني: أن جبريل إنما نزل بالمعاني خاصة وأنه صلى الله عليه وسلم علم تلك المعاني وعبر عنها بلغة العرب.
Anda lihat di sana bahwa pendapat itu hanya menyatakan, bahwa nabi mengungkapkan makna-makna yang diturunkan kepadanya itu dengan bahasa Arab, bukan dengan lisan maupun kalamnya. Setelah makna-maknanya disampaikan oleh Malaikat Jibril As. Pertanyaan yang sekarang harus kita jawab ialah, apakah kenyataan bahwa Nabi menungkapkan makna-makna al-Quran ke dalam bahasa Arab itu dengan serta merta menjadikan al-Quran sebagai kalam nabi itu sendiri? Kalau Anda memahami dengan baik uraian pada artikel pertama, maka jawabannya jelas tidak.
Tapi mari kita perjelas kembali klaim ini dengan ilustrasi-ilustrasi sederhana yang lain. Kalau suatu ketika Anda menerima pesan dari seseorang, kemudian pesan itu Anda serap maknanya, dan kemudian Anda terjemahkan ke dalam bahasa Anda, apakah kenyataan bahwa Anda mengungkapkan pesan tersebut otomatis menjadikan pesan itu sebagai kalam Anda sendiri? Tentu kita masih ingat uraian dalam tulisan yang lalu, yang membuktikan bahwa suatu kalam itu tidaklah dinamai kalam kecuali dia berupa makna, yang kemudian diekspresikan dengan lafaz. Konsekuensinya, ketika Anda menisbatkan suatu kalam kepada seseorang, maka penisbatan itu tentu harus disertai bukti bahwa makna dari kalam itu berasal dari orang itu sendiri.
Misalnya suatu waktu saya berkata kepada teman saya. Sebutlah namanya Ipad. “Pad, tolong sampaikan kepada si Mun’im. Bahwa saya tidak senang dengan pendapat-pendapat dia.” Lalu, misalnya, Ipad menyampaikan kalam yang saya utarakan itu dengan bahasa Arab. Pertanyaannya, apakah penerjemahan atau pengungkapan Ipad atas kalam yang saya utarakan itu dengan serta merta menjadikan kalam itu sebagai kalam dirinya sendiri? Lagi-lagi kita harus berkata tidak. Kenapa? Karena makna-makna dari kata itu bukan berasal dari si Ipad. Dia hanya berperan sebagai penyampai saja. Makna dari kalam itu berasal dari saya. Karena dia berasal dari saya, maka sebagai konsekuensinya dia tidak bisa dinisbatkan kepada yang lain, termasuk penyampainya itu sendiri.
Karena itu Anda tidak bisa mengatakan bahwa kalam itu seratus persen kalam Nuruddin, tapi juga seratus persen kalam Ipad. Kenapa? Karena, sekali lagi, penisbatan kalam terhadap seorang sosok mengharuskan adanya pembuktikan bahwa makna dari kalam itu berasal dari sosok itu sendiri. Syair populer menyebutkan, “inna al-kalama lafil fuadi, wainnama ju’ila al-lisan ‘alal fuadi dalila.” (Sesunggunya kalam itu ialah makna yang terpatri di dalam hati. Sedangkan lisan hanya dijadikan sebagai penunjuk atas apa yang terpatri di dalam hati itu). Beginilah makna kalam yang dimaksud oleh orang-orang Arab.
Dan memang logika pun akan berkata demikian. Kalam itu bukan hanya sebatas lafaz, tapi inti dari kalam itu ialah makna-makna yang dikandungnya. Karena itu, orang yang sekedar menyampaikan, melafalkan, atau mengungkapkan dalam bahasa tertentu, sementara makna dari kalam itu sendiri berasal dari yang lain, maka tidak bisa kalam itu kita nisbatkan kepada dirinya. Penyampai adalah penyampai. Dan pemilik adalah pemilik. Tidak bisa dicampuradukkan. Bukankah nalar yang sehat akan berkata demikian? Tidakkah ini menjadi bukti yang kuat bahwa al-Quran itu bukan kalam nabi, selama maknanya berasal dari Allah Swt, sekalipun nabi mengungkapkan makna-makna itu ke dalam bahasa Arab?
Saya kira sampai di sini pembaca sudah bisa memahami apa maksud dari pendapat kedua itu. Pendapat itu, sekali lagi, tidak secara jelas menyebutkan bahwa al-Quran itu seratus persen kalam Nabi, seperti yang dikatakan Mun’im. Begitu juga halnya dengan kutipan-kutipan dari ulama lain yang Mun’im sertakan. Tidak ada di antara mereka yang menyebut al-Quran sebagai kalam nabi. Kenyataan bahwa Nabi menerjemahkan, atau mengungkapan makna-makna itu ke dalam bahasa Arab tidak serta menjadikan apa yang diterjemahkan nabi itu sebagai kalam nabi. Apalagi kita dihadapkan pada sebuah fakta bahwa nabi tidak punya wewenang untuk merubah lafaz-lafaz yang diklaim sebagai sebagai al-Quran itu. Dan pendapat ini pun sesungguhnya sangat lemah. Tidak banyak dianut oleh para ulama.
Tapi itulah Mun’im. Dia suka sekali mencomot-comot pandangan yang lemah, selama pandangan itu bisa mendukung pandangannya sendiri. Dan faktanya dia tidak berhasil membuktikan itu. Al-Quran itu murni seratus persen kalam Allah. Karena makna-makna al-Quran berasal dari Allah. Kalau pernyataan ini Anda terima, maka sebagai konsekuensinya Anda tidak boleh menisbatkan kalam ini kepada sosok yang lain, termasuk Nabi Muhammad Saw sebagai penyampainya.
Kalau itu Anda lakukan, maka Anda akan terjatuh ke dalam kontradiksi. Karena pernyataan bahwa “al-Quran kalam itu kalam nabi” sama saja dengan pernyataan “al-Quran itu bukan kalam Allah.” Karena sosok nabi memang bukan Allah. Menyatakan al-Quran kalam nabi berarti sama saja dengan menyatakan bahwa dia bukan kalam Allah. Sementara pada proposisi pertama Anda menyebut “al-Quran adalah kalam Allah.” Jelas, ini adalah dua proposisi kontradiktif yang tidak akan pernah bisa didamaikan. Itu bertentangan dengan akal sehat. Dan setiap pandangan yang bertentangan dengan akal maka layak untuk kita kubur rapat-rapat. Demikian. Demikian, wallahu ‘alam bisshawab.