Meminta Kepada Allah
Bayangkan Anda punya seorang atasan yang baik, ramah, peduli dan kaya raya. Lalu Anda pun menjalin hubungan yang sangat baik dengan yang bersangkutan. Tanpa Anda minta, misalnya, atasan Anda ini selalu memberi. Dia selalu ada ketika Anda butuh. Ketika Anda membutuhkan bantuan, dia pun selalu siap untuk membantu. Cuma dia minta satu hal. “Kerjakan tugas yang sudah saya berikan sebaik mungkin. Selebihnya kebutuhan hidup kamu, aku yang menanggung.”
Pertanyaannya, kalau Anda benar-benar bisa menjadi bawahan yang baik, dan mampu menunaikan permintaan atasan Anda, apakah masih tersisa dalam hati Anda perasaan takut miskin, dan khawatir akan tidak terpenuhinya kebutuhan hidup Anda sendiri? Apakah Anda masih bingung mencari tempat untuk meminta, sementara Anda tahu bahwa atasan Anda ini bisa memenuhi hajat Anda? Ingat, ini cuma sebatas atasan, yang status kemanusiannya sama seperti kita.
Meski demikian, ketika memiliki atasan yang semacam ini, hidup kita tampaknya akan terasa nyaman dan baik-baik saja. Kita nggak akan kebingunan untuk mencari bantuan. Kita tidak akan pusing dalam mencari tempat untuk kita meminta. Karena kita sudah tahu bahwa di sana ada orang yang selalu siap untuk membantu. Bukankah begitu?
Baik, mungkin ada yang bilang, “sebaik-baiknya atasan, tetap saja nggak bisa diandalkan sepenuhnya. Kan dia juga masih orang lain. Bisa saja kan suatu ketika dia tidak mempedulikan kita lagi?”. Ya, memang betul. Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Tapi sekarang bagaimana kalau sosok yang baik, ramah, kaya raya, peduli dan rajin memberi itu adalah orang tua Anda sendiri?
Lalu kita ajukan kembali pertanyaan di atas tadi. Apakah Anda masih takut miskin, sementara Anda sadar bahwa Anda memiliki orang tua yang kaya? Bukan hanya kaya. Tapi dia juga peduli dan selalu memberi Anda. Apakah Anda masih takut dengan masa depan Anda, sementara Anda tahu bahwa orang tua Anda bisa memenuhi banyak hal dari apa yang Anda mau? Tampaknya, di sini jawaban kita akan sama.
Ingat, padahal ini cuma orang tua, yang sama-sama berstatus sebagai makhluk yang lemah. Sekarang kita patut merasa aneh kalau ada orang yang mengaku percaya Tuhan, percaya bahwa Dia Maha kuasa, Maha memberi rejeki, juga percaya bahwa Dia yang mengendalikan segala sesuatu, meski begitu dia masih bingung dalam menyikapi masalah hidup. Ketika ada kebutuhan, yang dia lakukan malah meminta kepada makhluk yang lemah. Padahal Dia percaya pada Tuhan yang Maha kuasa itu!
Kenapa itu bisa terjadi? Salah satu jawabannya, karena Dia tidak mampu menghayati keimanannya sendiri. Barangkali dia tidak merasa bahwa Tuhan itu sudah memberikan banyak nikmat dalam hidupnya. Dia masih memberinya makan, tempat tinggal, kesehatan, kemampuan bergerak, memandang, berjalan, dan lain-lain. Dan itu bisa dia nikmati sehari-hari.
Andaikan ada satu nikmat yang tercabut, maka nikmat yang lain masih banyak yang kita miliki. Tapi kadang kita tidak menyadari itu. Tuhan sudah sedemikian baik, dan kita tahu bahwa Dia Maha berkuasa, tapi anehnya kita masih saja bingung mencari tempat untuk mengadu, meminta, menumpahkan keluh kesah, curhat, meminta pertolongan, kemudahan, dan banyak hal yang kita butuhkan.
Tidak hanya itu, Tuhan yang Maha baik itu bahkan berjanji bahwa Dia akan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya. Hanya saja Dia punya banyak cara dalam pengabulan itu. Bahkan seringkali Dia mengabulkan dengan cara yang lebih baik. Kadang pengabulan doa hamba-Nya ditunda, karena waktunya belum pas. Kadang Dia mengabulkan dengan cara menyadarkan kita, bahwa apa yang kita minta itu adalah sesuatu yang buruk. Dan setelah Dia pun memberi pilihan yang jauh lebih baik.
Ingat, Anda punya Tuhan yang seperti itu. Bahkan lebih baik dari itu. Kenapa Anda masih bingung mencari tempat mengadu dan meminta? Ketika Anda ditimpa masalah, Dia menunggu Anda untuk meminta dan memanggil-Nya. Tapi kenapa Anda malah meminta kepada manusia, yang sama-sama lemah dan tidak berdaya? Kadang kita perlu bertanya secara jujur kepada diri kita sendiri. Sebetulnya kita itu percaya Tuhan atau nggak sih? Jangan-jangan kepercayaan itu hanya terucap melalui lisan. Tapi belum merasuk sampai ke bagian dada yang paling terdalam.
Boleh saja kita meminta bantuan kepada sesama manusia. Tapi itu hanya sebatas upaya lahiriah saja. Sebagai orang beragama mestinya kita yakin, bahwa yang paling layak untuk kita jadikan sebagai sandaran itu adalah Tuhan kita sendiri. Yang lain itu hanya sebatas perantara semata.
Kalau punya kebutuhan, mintalah sama Allah. Berharap mendapatkan pertolongan, minta sama Allah. Punya masalah, dan ingin masalah selesai, atau diberikan kekuatan, minta sama Allah. Kalau masih susah juga, coba periksa hubungan Anda dengan Tuhan yang Maha baik itu. Anda sudah menunaikan kewajibannya atau belum? Periksa salat Anda. Kalau salat aja nggak, ya wajar aja hidup Anda susah.
Kalau merasa banyak maksiat, jangan khawatir, Dia menunggu Anda bertaubat. Bahkan Dia senang dengan pertaubatan hamba-hamba-Nya. Perbaikilah hubungan Anda dengan pertaubatan itu. Tunaikan kewajiban. Kalau masih ada waktu, laksanakan hal-hal yang sunnah. Menunaikan salat sunnah seperti dhuha, tahajjud, membaca al-Quran, membantu orang lain, atau apa saja. Mintalah apa yang Anda mau. Dan yakinlah bahwa Dia akan mengabulkan.
Agama hanya akan terasa memberikan dampak dalam hidup kalau kita mampu menghayati pesan-pesannya dengan baik. Kalau ada beragama yang hidupnya penuh dengan keluhan, serba susah, serba bingung, tidak tahu kemana harus meminta, tidak tahu kepada siapa harus mengadu, apalagi kalau sampai frustrasi dan ingin bunuh diri, maka pastilah ada yang salah dengan keimanan dan penghayatan orang itu.
Jangan lupa, berharap kepada manusia itu sering membuat kita kecewa. Semakin tinggi harapan Anda, semakin dalamlah kekecewaan yang Anda terima. Kalau benar kita percaya kepada Tuhan, percaya dengan kebaikan-Nya, rahmat-Nya, dan kekayaan-Nya yang tidak terbatas, mestinya Dialah yang harus menjadi tempat utama kita dalam bersandar. Bukan manusia. Kalau kita sudah menjadikan manusia sebagai sandaran utama, maka dari sanalah akan terlahir kesengsaraan yang sesungguhnya.