Kajian KeislamanStudi al-QuranTerkini

Apakah al-Quran Mutawatir?

Kaum Muslim punya ketentuan yang sangat ketat dalam menetapkan bacaan al-Quran. Bagi mereka, al-Quran itu hanya bisa disebut sebagai al-Quran ketika dia terbukti sebagai kalam Allah, diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai mukjizat, disyariatkan untuk dibaca dalam ibadah (salat), dan diriwayatkan secara mutawatir. Inilah pengertian al-Quran yang umumnya kita jumpai dalam buku-buku ‘ulumul quran standar (dengan beberapa perbedaan redaksi tentunya).

Poin penting yang akan kita soroti dari pengertian di atas ialah bagian paling terakhir itu. Yaitu kata mutawatir. Berdasarkan pengertian tersebut, maka suatu bacaan itu hanya bisa disebut sebagai al-Quran kalau dia terbukti mutawatir. Dengan kata lain, kemutawatiran (at-tawatur) itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari makna al-Quran itu sendiri. Tapi apa sih artinya mutawatir itu?

Maksud dari istilah mutawatir itu ialah, “suatu kabar yang disampaikan oleh orang banyak, dari sekumpulan orang banyak, sehingga mereka tidak dimungkinkan untuk bersepakat dalam kebohongan.” Tentu harus kita tegaskan bahwa kabar orang banyak tidak selamanya tergolong sebagai kabar mutawatir. Agar kabar orang banyak itu menjadi pengetahuan yang meyakinkan secara epistemologis, para ulama pun menetapkan sejumlah syarat.

Di antaranya, jumlah banyak itu harus ada dalam setiap thabaqat. Kemudian sandaran dari informasi itu harus berasal dari pancaindera. Dengan kata lain, orang-orang yang menjadi informan pertama dari kabar itu harus mendapatkan informasi melalui pancainderanya. Karena pengetahuan inderawi masuk ke dalam pengetahuan aksiomatik, yang secara epistemologis bersifat meyakinkan.

Alhasil, jika ada suatu kabar disampaikan oleh manusia dengan jumlah yang sangat banyak, dan kabar itu memenuhi syarat-syarat tawātur, maka dia harus diterima sebagai kabar yang benar. Di sini saya tidak bicara tentang masalah iman. Tapi ini adalah pengetahuan paling dasar dalam ilmu filsafat. Dalam epistemologi, kita mengenal apa yang disebut sebagai “pengetahuan-pengetahuan aksiomatik” (dharūriyyāt). Dan kabar mutawatir adalah salah satu di antaranya.

Sekarang kita mari kita jawab pertanyaan di atas, apakah benar al-Quran itu mutawatir? Bagi saya, pertanyaan semacam ini adalah pertanyaan yang kurang berbobot. Mungkin bisa dimaklumi kalau pertanyaan ini diajukan oleh orang awam. Tapi, jika ada seorang profesor, atau intelektual Muslim, masih mengajukan pertanyaan semacam ini, kiranya itu bisa dijadikan bukti bahwa yang bersangkutan tak punya wawasan yang memadai seputar sejarah dan seluk beluk periwayatan al-Quran.

Anda bertanya, “apakah benar al-Quran itu mutawatir?”. Lah, sejak awal, kaum Muslim itu tidak mengklaim sebuah bacaan sebagai al-Quran, kecuali kalau dia terbukti mutawatir! Menanyakan apakah al-Quran mutawatir itu tentu sama saja dengan menanyakan sesuai dengan dirinya sendiri. Pertanyaan yang absurd dan tidak berguna.

Sama absurdnya dengan pertanyaan, apakah manusia itu hewan yang berpikir? Apakah benar khamar itu sebuah minuman? Apakah benar salat itu berupa perbuatan? Ini contoh pertanyaan dari orang-orang yang “kurang kerjaan”. Al-Quran itu ya tidak akan disebut sebagai al-Quran kecuali kalau dia terbukti mutawatir. Tidak perlu ditanya apakah dia mutawatir atau tidak. Kalau tidak mutawatir, ya namanya bukan al-Quran.

Bacaan al-Quran yang sampai kepada kita sekarang itu diriwayatkan oleh banyak sahabat. Dan informasi yang disampaikan oleh orang banyak itu, secara epistemologis, dapat melahirkan pengetahuan yang bersifat pasti (‘ilm dharūriy). Jika suatu ketika ditemukan sebuah riwayat yang dinisbatkan kepada seorang sahabat, dan riwayat itu berbeda dengan bacaan yang mutawatir, hal itu tentu tidak serta merta menggugurkan kemutawatiran al-Quran.

Karena sejak awal, makna mutawatir itu sendiri tidak mengharuskan adanya periwayatan dari semua orang. Tapi orang dengan jumlah yang banyak. Bagi para ahli ilmu qira’at, klaim yang menyebutkan al-Quran mutawatir itu sebetulnya sudah selesai. Kesimpulan tersebut dihasilkan dari penelitian atas berbagai jalur periwayatan. Karena itu, mengajukan pertanyaan seperti di atas, hemat saya, adalah cerminan dari keterbelakangan yang nyata.

Salah satu ciri orang yang bernalar terbelakang biasanya memang suka mengulang-ulang persoalan lama yang jawabannya sudah tuntas. Kita ingin melangkah ke depan. Mereka malah mengajak kita untuk masuk ke dalam lorong-lorong masa lampau. Ujung-ujungnya, kita hanya dipaksa untuk mereproduksi jawaban-jawaban lama. Karena mereka sendiri tidak datang dengan ide dan data yang benar-benar baru.

Penting untuk diingat, bahwa sandaran utama dalam menetapkan bacaan al-Quran itu bukan teks, melainkan hafalan. Teks itu hanya berperan sebagai pembantu. Dan yang menjadi asas utama ialah hafalan bersanad, yang dijadikan panduan dalam membaca teks itu. Hal ini sudah ditegaskan oleh banyak pakar.

Dalam Manāhil al-‘Irfān, misalnya, Imam az-Zarqani menegaskan bahwa:

إن المعول عليه في القرآن الكريم إنما هو التلقي والأخذ ثقة عن ثقة وإماما عن إمام إلى النبي صلى الله عليه وسلم وإن المصاحف لم تكن ولن تكون هي العمدة في هذا الباب

“Sesungguhnya yang menjadi sandaran dalam (menetapkan) al-Quran ialah penerimaan langsung (talaqqi) dan pengambilan dari sosok yang terpercaya, dari sosok yang terpercaya, dari seorang imam yang (menerima) dari imam yang lain, sampai kemudian bersambung kepada Nabi Saw. Dan mushaf-mushaf tidak dan tidak akan pernah bisa menjadi sandaran dalam persoalan ini. (maksudnya bacaan al-Quran, pen.)” (Manahil, vol. 1, hlm. 413).

Imam al-Jazari (w. 833 H), salah seorang imam besar dalam Ilmu Qiraat, juga menegaskan dalam kitabnya:

إن الإعتماد في نقل القرآن على حفظ القلوب والصدور لا على حفظ المصاحف والكتب، وهذه أشرف خصيصة من الله تعالى لهذه الأمة

“Sesungguhnya sandaran utama dalam mentransmisikan al-Quran itu ialah hafalan yang terpatri di dalam hati, bukan pada apa yang terjaga dalam lembaran mushaf dan kitab. Dan inilah kekhususan yang Allah berikan kepada umat ini.” (an-Nasyr fi al-Qirā’āt al-‘Asyr, vol. 1, hlm. 6).

Inilah satu fakta yang seringkali diabaikan oleh para Orientalis. Mereka ingin mengkaji al-Quran sebagai sebuah teks, lalu meragukan keotentikannya berdasarkan kajian teks itu. Sementara kaum Muslim tidak memandang teks itu sebagai sumber utama. Sandaran utama dalam menentukan mana bacaan yang termasuk al-Quran dan mana yang tidak itu ialah hafalan yang bersifat mutawatir. Dan memang sejak awal dia diturunkan di tengah-tengah masyarakat yang lebih mengutamakan hafalan ketimbang tulisan!

Bayangkan, untuk menjaga keotentikan bacaannya, cara membaca dan menghafalnya pun diatur sedemikian rupa. Bahkan ada satu disiplin ilmu khusus yang mengatur bacaan itu. Agar hafalan yang sampai kepada kita itu tidak mengalami distorsi dan penyimpangan. Bagaimana kita tidak yakin bahwa kitab yang dijaga dengan cara seperti itu adalah kitab yang otentik? Bukti-bukti keotentikannya jelas. Dan faktanya tidak ada kitab suci yang dijaga dengan cara seperti itu selain kitab sucinya kaum Muslim.

Karena penetapan bacaan al-Quran ini bersandar pada hafalan, maka untuk mengetahui apakah suatu bacaan al-Quran itu mutawatir atau tidak, yang harus dirujuk ialah hafalan para qurrā, yang memiliki ketersambungan sanad bacaan kepada Nabi Saw, sebagai penerima al-Quran yang pertama. Bukan hanya melakukan kajian manuskrip. Apalagi mengutip riwayat-riwayat ahad yang kesahihannya sendiri masih diperdebatkan.

Secara metodologis ini jelas keliru. Saya tidak mengatakan bahwa kajian manuskrip itu tidak penting. Dia penting. Tapi bagaimanapun tulisan itu tidak bisa dijadikan sandaran utama dalam menguji keotentikan al-Quran. Sejak awal turunnya, al-Quran itu adalah kitab yang dihafal. Diturunkan kepada nabi yang tidak membaca dan menulis. Dihafal oleh banyak sahabat. Hafalan itu diajarkan kepada tabi’in, berlanjut ke tabi tabiin, dan begitu seterusnya, sampai kepada kita sekarang.

Bersandar Pada Riwayat Ahad

Dalam buku-buku ulumul qur’an kadang kita menjumpai riwayat-riwayat yang zahirnya seolah-olah menunjukkan bahwa ada sesuatu yang hilang dari al-Quran. Atau ada bagian yang dulu diklaim sebagai al-Quran, dan sekarang sudah tidak ada. Atau riwayat terkait penolakan seorang sahabat terkait bacaan tertentu. Semua itu ada dalam kitab-kitab para ulama kita. Kita tidak menutupi fakta itu. Dan jawabannya pun sudah ada di sana.

Beberapa di antara riwayat itu ada yang sahih tapi banyak juga yang lemah dan palsu. Anggaplah dihadapan kita sekarang ada sebuah riwayat sahih, yang mengisahkan seorang sahabat bernama fulan tidak mengakui bacaan tertentu itu sebagai al-Quran, atau mengakui suatu bacaan tertentu sebagai al-Quran, tapi ternyata bacaan itu tidak kita jumpai sekarang. Kemudian terbukti bahwa sanad riwayat itu sahih.

Lantas bagaimana kita menjawab itu? Saya tidak akan menjawab, “oh riwayat itu tertolak, karena dia bertentangan dengan keimanan kaum Muslim!”. Dalam kajian ilmiah, yang harus kita jadikan sebagai rujukan bersama ialah kaidah ilmiah itu sendiri. Karena kita berbicara tentang riwayat, maka kita juga harus merujuk pada kaidah-kaidah yang ada dalam ilmu riwayat. Begitulah cara yang bijaksana dalam mengkaji.

Salah satu kaidah dalam ilmu itu menyebutkan, bahwa kabar mutawatir, yang bersifat meyakinkan, itu tidak bisa dibatalkan oleh riwayat ahad (kabar segelintir orang) yang tidak meyakinkan. Anda tidak perlu menjadi Muslim untuk membenarkan ketentuan yang satu ini. Ini ketentuan yang sangat logis. Dalam kehidupan sehari-hari pun, kabar yang lebih meyakinkan itu pasti akan kita dahulukan ketimbang kabar yang tidak meyakinkan.

Suatu waktu, misalnya, saya menerima kabar dari 1 orang siswa bahwa santri bernama fulan itu kabur ke rumahnya. Dan dia kabur di malam hari. Tapi di keesokan harinya datang kabar dari 15 orang siswa. Mereka semua sepakat menyebutkan bahwa yang bersangkutan tidak kabur, tapi hanya keluar membeli jajan. Menurut akal sehat, mana kira-kira yang lebih dapat dipercaya dari kedua informasi itu?

Jelas, jawabannya tak perlu bertele-tele. Kabar orang banyak tentu lebih layak didahulukan ketimbang kabar segelintir orang. Logika serupa dapat kita terapkan ketika berhadapan dengan riwayat-riwayat semacam itu. Saking ketatnya metode verifikasi yang diperkenalkan oleh para ulama Muslim, mereka bahkan membuat satu ketentuan bahwa riwayat yang sanadnya terbukti sahih pun bisa jadi gugur ke-hujjah-annya ketika dia menyelisihi informasi lain yang lebih meyakinkan.

Jadi, sanad yang sahih itu tidak selalu berimplikasi pada sahihnya sebuah informasi. Karena boleh jadi kandungan informasi itu bertentangan dengan informasi lain yang bukti kesahihannya lebih kuat. Ketika itu, riwayatnya disebut sebagai riwayat syaadzzah. Dan riwayat syadz tak bisa dijadikan sandaran.

Ketentuan ini tidak berarti menafikan pentingnya sanad. Bagaimanapun, pengujian atas kesahihan sanad itu penting. Tapi dia bukan satu-satunya tolok ukur kesahihan sebuah informasi. Boleh jadi sanad dari sebuah riwayat itu sahih. Tapi ketika dia bertentangan dengan kabar lain yang lebih meyakinkan—apalagi jika menyangkut teks yang bersifat qath’i—maka dia pun tidak bisa dijadikan sandaran dalam berdalil. Begitulah ketentuannya.

Apa yang saya kemukakan di sini ialah kaidah umum. Dan saya berharap agar orang-orang yang kerap mempertanyakan kemutawatiran al-Quran—dengan mengutip riwayat-riwayat ahad— itu sanggup untuk mematuhi kaidah umum itu. Kecuali kalau mereka mampu mendatangkan kaidah lain yang lebih canggih. Dan membuktikan kecacatan kaidah yang kita sebutkan tadi.

Setelah Anda memahami ketentuan di atas, sekarang lihatlah tulisan-tulisan Mun’im Sirry (dan orang-orang sejenisnya). Dia suka sekali mengutip riwayat-riwayat yang bisa dijadikan celah untuk menolak klaim kemurnian al-Quran. Padahal klaim tersebut ditegaskan dalam kitab sucinya sendiri (Q. 15: 9). Ketika menjumpai riwayat yang sesuai dengan selera pribadinya, maka dia akan mengutip riwayat itu dengan penuh semangat. Sambil memframing riwayat itu sebagai data historis. Dan kajian yang dilakukannya adalah kajian historis.

Sayangnya, ketika ada riwayat yang bertentangan dengan selera pribadinya—sekalipun riwayat itu terbukti mutawatir—maka dia tidak akan segan menolak riwayat itu. Sambil menuduh kaum Muslim itu dogmatis dan pembelaan mereka hanya dipandang sebagai pembelaan teologis. Di sini kita jadi bertanya-tanya, sebetulnya yang dogmatis dan tidak ilmiah itu kita atau mereka? Basis epistemologis yang kita jadikan pijakan dalam mengukuhkan kemurnian al-Quran itu memiliki rujukan kaidah yang jelas. Baik dari sudut ilmu riwayat maupun kaidah-kaidah rasional.

Pertanyaan saya, mereka punya kaidah apa? Apa basis epistemologi yang mereka gunakan ketika mengutip riwayat-riwayat itu? Saya belum menemukan penjelasan yang memadai terkait pertanyaan ini. Yang saya lihat, mereka ini sejak awal memang sudah berniat ingin meragukan al-Quran saja. Bukan ingin melakukan kajian ilmiah secara jujur. Buktinya, ketika disodorkan data yang lebih sahih, mereka malah menolak. Dan bersikukuh bahwa al-Quran itu tidak sepenuhnya asli. Yang mengatakan asli itu, kata mereka, hanya keimanan kaum Muslim saja.

Sementara faktanya menunjukkan bahwa al-Quran itu diriwayatkan secara masif, dibaca setiap hari dalam salat, dihafal oleh jutaan kaum Muslim dari generasi ke generasi, baik dari anak kecil, anak muda maupun orang-orang tua. Dan bacaan mereka memiliki ketersambungan sanad dengan nabinya. Terlepas apakah kaum Muslim mengimani hal itu atau tidak, fakta adalah fakta. Tak bisa ditutup-tutupi dengan alasan bahwa itu adalah sesuatu yang diimani oleh kaum Muslim.

Memang kita mengimani itu. Tapi apa yang kita imani itu adalah fakta. Dan untuk membuktikan kesahihan fakta itu, yang harus Anda rujuk adalah hafalan para qurrā, yang mentransmisikan al-Quran itu dengan sanad yang sahih. Bukan hanya teks dan riwayat-riwayat ahad. Karena al-Quran adalah kitab yang dijaga dengan hafalan (mahfuzh fisshudūr), sebelum ia dijaga dengan tulisan-tulisan (mahfūzh fissuthūr). Demikian, wallāhu ‘alam bisshawāb.

Bagikan di akun sosial media anda