Fikih dan Ushul FikihKajian KeislamanTerkiniTerpopuler

Dalil-dalil Keharaman Nikah Beda Agama

Di tulisan sebelumnya kita sudah memaparkan pandangan para pakar hukum Islam terkait masalah ijma’. Kita juga sudah tegaskan di sana bahwa suatu ijma’ itu terumuskan oleh para mujtahid. Dan para mujtahid tidak mungkin bersepakat terkait sesuatu yang tidak ada dalilnya. Atau dalilnya terbukti bermasalah. Karena ijma bersandar pada dalil, maka sebagai konsekuensi logisnya dia juga sah untuk dijadikan dalil.

Dengan demikian, melalui tulisan sebelumnya, kita sudah memaparkan dalil terkait masalah yang sedang kita bahas. Namun, menjadikan ijma’ sebagai dalil barangkali belum terlihat memuaskan bagi sebagian orang, sebelum memerinci “dalil-dalil tersembunyi” yang ada di balik ijma itu sendiri. Mun’im dan al-‘Alayli menolak pengharaman itu dengan alasan tidak ada nas dalam al-Quran yang mengharamkannya. Tapi benarkah demikian?

Benarkah tidak ada dalil dalam al-Quran yang mengharamkan pernikahan beda agama? Sebelum dijawab, kita harus tegaskan dua hal terlebih dulu. Pertama, nikah beda agama yang kita bicarakan ialah kasus pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Kita tidak mempersoalkan pendapat yang memperbolehkan pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan ahli kitab. Pernikahan yang terakhir ini tidak menjadi titik tengkar (mahall niza’) antara kita dengan sosok yang kita kritik.

Kedua, tidak adanya nas dalam al-Quran bukan berarti tidak ada dalil. Ini poin penting yang harus kita catat dengan baik. Kata “dalil” itu lebih umum maknanya ketimbang “al-Quran”. Hubungan antara keduanya, meminjam ungkapan para logikawan, ialah “umūm wa khushūs muthlaq”. Semua ayat al-Quran adalah dalil. Tapi tidak semua dalil harus berasal dari ayat al-Quran. Ini kaidah yang, saya kira, sangat mudah dipahami oleh orang-orang yang sudah akrab dengan kajian-kajian Ushul Fikih.

Konsekuensinya, ketika Anda menyatakan “tidak ada nas al-Quran yang melarang”, maka ungkapan tersebut tidak bisa dipersamakan dengan ungkapan “tidak adanya dalil yang melarang.” Sebab, kaidah ushul menyatakan: “nafyul ‘akhassh lā yastalzim nafyu al-A’am” (penafian atas sesuatu yang lebih khusus itu tidak berkonsekuensi pada penafian sesuatu yang lebih umum).”

Dalil syariat itu tidak harus selalu dari al-Quran. Bisa dari hadits, ijma’ ataupun qiyās. Karena itu, sekali lagi, tidak adanya teks al-Quran yang secara sarih dalam mengharamkan sesuatu tidak lantas jadi petunjuk bahwa tidak ada dalil keharaman terkait sesuatu yang tidak ditegaskan oleh al-Quran itu. Karena nas al-Quran hanyalah salah satu dari sekian banyak dalil yang mu’tabar menurut para pakar.

Jika istilah “nash” itu merujuk pada penjelasan para ahli ushul fikih, maka maknanya bisa lebih mengkerucut lagi. Istilah nash itu, dalam pemahaman mereka, bukan hanya sebatas teks, seperti yang kita pahami pada umumnya. Tapi nash, menurut mereka, ialah: “suatu lafaz yang tidak mengandung kecuali satu makna.” (al-Mahalli, Syarh al-Waraqat, hlm. 146).

Di sini kita tidak ingin menguraikan makna “nash” dalam perspektif ushuliyyūn secara lebih jauh. Namun, satu poin penting dari kata “nash” ialah “kejelasan” dan “ketegasan”, sehingga manakala dia disebut, maka makna yang ditunjuknya hanya ada satu. “Nash” bukan hanya sebatas teks, tapi teks yang maknanya tegas dan jelas.

Dan, yang perlu diingat sekali lagi, nas dalam pengertian ini bukan satu-satunya dalil. Dengan begitu, tidak ada nas bukan berarti tidak ada dalil. Menafikan adanya nas tidak berarti menafikan adanya dalil. Saya kira ini jelas. Dan sekarang mari kita tampilkan dalil-dalil keharaman nikah beda agama, selain ijma’ yang telah kita buktikan sebelumnya.

Dalil Pertama

Dalam al-Quran dinyatakan:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ࣖ

“Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman! Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Jangan pula kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman) hingga mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah [2]: 221).

Al-‘Alayli dan Mun’im mengklaim bahwa ayat ini tak bisa dijadikan dalil keharaman nikah beda agama. Sebab, menurut keduanya, ayat ini khusus berbicara tentang orang-orang musyrik. Sementara, tegas Mun’im, musyrik dan ahlu kitab itu dua kategori yang berbeda. Kita tidak ingin mempersoalkan pembedaan dua istilah ini secara lebih jauh.   

Anggaplah sekarang kita sepakat dengan pembedaan itu. Tapi, pertanyaan lanjutannya, apakah keharaman menikah dalam ayat ini hanya terbatas pada orang-orang Musyrik, dan tidak mencakup ahli kitab? Mun’im maupun al-‘Alayli melupakan satu poin penting yang disebutkan dalam ayat ini. Apa itu? Poin penting yang dimaksud ialah ‘illat di balik pengharaman itu sendiri.

Mari kita simak apa yang dikatakan oleh ‘Alauddin al-Kassani (w. 587), seorang pakar hukum Islam dalam mazhab Hanafi, terkait ayat ini. Dalam kitab Badā’ī as-Shanā’i, dia menulis: 

و النّص وإن ورد في المشركين، لكن العلّة وهي الدعاء إلى النّار يعمّ الكفرة أجمع، فيتعمّم الحكم بعموم العلّة، فلا يجوز إنكاح المسلمة الكتابي كما لا يجوز إنكاحها الوثني والمجوسي

“Teks tersebut, sekalipun turun dalam konteks orang-orang musyrik, tetapi yang menjadi ‘illatnya, yakni “menyeru kepada neraka”, itu berlaku secara universal bagi semua orang-orang kafir. Dengan begitu penghukumannya menjadi umum seiring dengan keumuman illatnya itu sendiri. Dengan demikian, tidak boleh menikahkan seorang perempuan Muslimah dengan laki-laki ahli kitab, sebagaimana tidak boleh menikahkan dia dengan seorang musyrik dan orang majusi.” (Badā’i as-Shanā’i, vol. 2, hlm. 272).

Menariknya lagi, pandangan serupa juga dikemukakan oleh Imam Syafi’ī (dan Anda pasti tahu sebesar apa kedudukan Imam Syafi’i dalam masalah fikih!). Dalam Ahkām al-Qur’an, sebagaimana dikutip oleh Imam Baihaqi (w. 458 H), Imam Syafi’i mengomentari ayat tersebut dengan ungkapan sebagai berikut:

وَإِنْ كَانَتْ الْآيَةُ نَزَلَتْ فِي تَحْرِيمِ نِسَاءِ الْمُسْلِمِينَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مِنْ  مُشْرِكِي أَهْلِ الْأَوْثَانِ. فَالْمُسْلِمَاتُ مُحَرَّمَاتٌ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مِنْهُمْ، بِالْقُرْآنِ: بِكُلِّ حَالٍ وَعَلَى مُشْرِكِي أَهْلِ الْكِتَابِ: لِقَطْعِ الْوِلَايَةِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ.

“Sekalipun ayat itu turun dalam konteks pengharaman nikah perempuan kaum Muslim dengan orang-orang musyrik dari kalangan penyembah berhala, maka perempuan-perempuan Muslimah haram bagi orang-orang musyrik, berdasarkan teks al-Quran, dalam keadaan apapun. Dan juga (haram) bagi kaum musyrik dari kalangan ahlu kitab. Karena terputusnya kedekatan antara kaum Muslim dan kaum musyrik.” (Ahkam al-Quran, vol. 1, hlm. 189).

Saya ingin mengajak Anda untuk melihat kejelian nalar seorang ushuli ketika berhadapan dengan ayat ini. Anda lihat dalam kutipan di atas bahwa Al-Kasani mengakui bahwa ayat tersebut turun dalam konteks orang-orang Musyrik. Namun, dia menoleh pada apa yang dikatakan oleh ayat itu terkait ‘illat (alasan) di balik pelarangannya. Apa gerangan yang menjadi alasannya? Jawabannya, kata al-Kasani, ialah “menyeru kepada neraka” (yad’ūna ilā an-nār), seperti termaktub dalam ayat itu sendiri.

Yang dimaksud dengan “menyeru kepada nereka” itu, menurut Ibnu ‘Asyur, ialah “menyeruh pada sebab-sebab yang mengantarkan orang pada neraka” (ad-du’a ilā asbābihā) (Tahrir wa Tanwir, vol. 2, hlm. 363). Dengan kata lain, sebab-sebab yang dapat mengantarkan seseorang pada neraka itulah yang menjadi alasan di balik adanya larangan atas pernikahan tersebut. Berhubung ‘illat itu tidak terbatas pada orang-orang musryik—karena ahlu kitab juga tergolong sebagai orang kafir, dan mereka punya potensi untuk mengajak pasangannya menuju kekufuran—maka dengan demikian dia pun berlaku bagi ahli kitab, yang memang mengingkari kenabian Nabi Muhammad Saw.

Al-Quran secara tegas menyebut orang-orang yang percaya pada sebagian nabi, lalu mendustakan sebagian yang lain itu sebagai orang-orang kafir dengan kekufuran yang sesungguhnya (al-kāfirūna haqqā) (QS. An-Nisa [4]: 151). Berhubung al-Quran menetapkan kekufuran mereka, dan ayat di atas menggantukan alasan pengharaman pada sebab-sebab yang mengantarkan orang pada neraka, yang salah satunya adalah kekufuran, maka secara otomatis perempuan Muslimah tidak boleh menikah dengan mereka.

Lihatlah bagaimana kejeniusan metode istidlāl seorang ushūli. Lalu bandingkan corak berpikir semacam itu dengan metode pembacaan Mun’im Sirry, yang hanya melihat ayat tersebut dari bunyi lahiriahnya belaka. Memang kesimpulan ini tidak diperoleh dari nas (dalam arti teks yang jelas). Tapi ini metode pengambilan hukum yang sah dari sudut Ilmu Ushul fikih. Yakni menetapkan hukum berdasarkan ‘illatnya. Dan ayat tersebut menyebutkan ‘illat itu.

Lalu bagaimana dengan perempuan ahli kitab yang dibolehkan menikah dengan laki-laki Muslim? Kalau alasannya “mengajak pada kekufuran”, bukankah ini juga berlaku bagi mereka? Kenapa al-Quran membolehkan pernikahan perempuan Ahli kitab dengan laki-laki Muslim, tapi tidak sebaliknya? Ibnu ‘Asyur, dalam Tahrir wa at-Tanwir, memberikan jawaban:

 فَأَبَاحَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَتَزَوَّجَ الْكِتَابِيَّةَ وَلم يبح تزوج الْمُسْلِمَةِ مِنَ الْكِتَابِيِّ اعْتِدَادًا بِقُوَّةِ تَأْثِيرِ الرَّجُلِ عَلَى امْرَأَتِهِ ، فَالْمُسْلِمُ يُؤْمِنُ بِأَنْبِيَاءِ الْكِتَابِيَّةِ وَبِصِحَّةِ دِينِهَا قَبْلَ النَّسْخِ فَيُوشِكُ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ جَالِبًا إِيَّاهَا إِلَى الْإِسْلَامِ، لِأَنَّهَا أَضْعَفُ مِنْهُ جَانِبًا وَأَمَّا الْكَافِرُ فَهُوَ لَا يُؤْمِنُ بِدِينِ الْمُسْلِمَةِ وَلَا بِرَسُولِهَا فَيُوشِكُ أَنْ يَجُرَّهَا إِلَى دِينِهِ

“Maka Allah Swt membolehkan seorang Muslim untuk menikahi perempuan ahli kitab, dan tidak membolehkan pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki ahli kitab, dengan mempertimbangkan kuatnya pengaruh laki-laki atas perempuan. Laki-laki Muslim percaya dengan nabi-nabi yang diimani oleh perempuan Ahli kitab, dan juga keabsahan agamanya sebelum dihapus (maksudnya oleh agama Islam, pen). Dan kenyataan itu bisa menariknya untuk masuk ke dalam agama Islam. Karena perempuan di satu sisi lebih lemah (ketimbang laki-laki). Sedangkan orang kafir tidak percaya dengan agama sang perempuan Muslimah, juga (tidak beriman) kepada rasul-Nya. Dan kenyataan itu bisa menariknya ke dalam agama si laki-laki” (at-Tahrīr wa at-Tanwīr, vol. 2, hlm. 363).

Ini teks yang begitu jelas dari Ibnu Asyur yang menjadikan surat al-Baqarah 221 sebagai ayat yang relevan untuk dijadikan dasar pengharaman nikah perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Terlepas apakah dia musyrik maupun ahli kitab (Yahudi & Kristen). Dan alasan yang dia kemukakan sangatlah logis. Kalau laki-laki Muslim menikah dengan perempuan ahli kitab, dia bisa menghormati tokoh-tokoh penting dalam agama isterinya. Dia percaya kepada Isa As, juga sudah pasti memuliakan Musa As. Karena imannya tidaklah sah kecuali dengan mengimani dan memuliakan kedua sosok agung itu.

Tapi kalau perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, sang laki-laki tidak percaya dengan kebenaran agama isterinya sama sekali, juga tidak percaya dengan kenabian sosok yang diagungkannya, lantas bagaimana mungkin keharmonisan rumahtangga yang didambakan Islam itu bisa tercipta kalau menyangkut urusan iman yang bersifat fundamental itu saja sudah mengalami ketimpangan? Orang berbeda adat saja sudah bisa menimbulkan pertengkaran hebat. Apalagi perbedaan menyangkut dasar-dasar agama!  

Penting untuk dicatat bahwa apa yang dikemukakan oleh Ibnu Asyur terkait besarnya pengaruh laki-laki terhadap perempuan ini bukan suatu kaidah universal yang tidak menerima pengecualian. Dengan kata lain, kita tidak mengklaim bahwa dalam setiap kasus dan setiap kondisi lelaki itu selalu punya pengaruh besar terhadap perempuan. Kita juga tidak menolak bahwa di luar sana ada perempuan yang memiliki pengaruh besar bagi laki-laki.

Tapi yang dibicarakan di sini ialah fenomena yang umum (fi al-‘aam al-aghlab). Sebagai pemimpin rumah tangga, sangat logis kalau dikatakan bahwa suami punya pengaruh lebih besar atas perempuan ketimbang sebaliknya. Bahkan bukan tidak mungkin ketika sudah menikah sang suami malah tidak menghormati keyakinan isterinya sendiri. Lalu memaksanya, atau memberinya pengaruh, untuk memeluk agamanya.

Bukankah itu sesuatu yang mungkin? Islam ingin menutup rapat kemungkinan itu. Dan karena agama itu harus dijaga—karena penjagaan terhadap agama merupakan salah satu dari maqāshid syarī’ah—maka pengharaman itu pun menjadi relevan. Jadi, kita tidak menolak klaim bahwa ayat itu turun dalam konteks orang-orang musyrik. Tapi dia menyebutkan satu ‘illat yang juga bisa mencakup golongan ahli kitab. Dan dengan begitu haramlah seorang perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki dari golongan mereka.

Dalil Kedua

Dalil selanjutnya yang kita jadikan sandaran ialah riwayat yang dinisbatkan kepada generasi salafussalih. Mufassir generasi awal seperti At-Thabari (w. 310 H), misalnya, mengutip sebuah riwayat yang dinisbatkan kepada Qatadah. Dalam tafsirnya disebutkan begini:

ونقل أيضا عن قتادة والزّهري تفسيرهما لهذه الآية بقولهما: “لا يحلّ لك أن تُنكح يهوديًّا أو نصرانيًّا، ومشركًا من غير أهل دينك

“Dan dinukil pula dari Qatadah dan az-Zuhri penafsiran mereka terkait ayat ini. Perkataan keduanya: “Tidak halal bagimu menikahkan Yahudi ataupun Nasrani, dan juga orang Musyrik yang bukan dari kalangan agamamu.”

Riwayat ini juga disampaikan oleh pakar hadits dari generasi awal, yakni Abdurrazzaq as-Shan’ani (w. 211 H), dalam kitabnya yang berjudul “al-Mushannaf”. (vol. 7, hlm. 175).

Mun’im seringkali merujuk pada riwayat-riwayat yang datang dari periode awal, dengan alasan bahwa yang muncul lebih awal itu punya nilai historis yang lebih kuat. Sekarang Anda lihat, dalam kitab hadits yang cukup tua sekalipun, ketentuan haramnya nikah perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim itu sudah ada! Pertanyaannya, bisakah Mun’im menerima fakta semacam ini, sekalipun itu bertentangan dengan hawa nafsunya?

Saya merasa tidak perlu memastikan kesahihan riwayat ini. Karena orang yang sedang saya kritik sejak awal tak mengindahkan kaidah-kaidah ilmiah dalam penyeleksian riwayat. Jika ada riwayat yang bisa mendukung pandangannya, Mun’im seringkali mengutipnya dengan penuh semangat. Sekalipun itu riwayat yang lemah. Tapi jika tidak, dia akan katakan: itu produk orang belakangan! Hasil dari kontestasi ideologi, dan alasan-alasan ngawur lainnya itu.  

Melalui riwayat di atas, sekali lagi, terbukti bahwa pengharaman terkait nikah beda bukan hanya dimunculkan oleh orang-orang belakangan, tapi para ahli dari generasi awal pun menegaskan keharaman itu. Dan karena itu sangat wajar jika dia dijadikan sebagai ijma’ ulama. Karena faktanya memang tidak ada ulama berlevel mujtahid yang secara sarih menyelisihi pandangan itu!  

Mun’im mengatakan bahwa “tidak ada nas yang melarang pernikahan beda agama.” Kita bisa jawab balik, faktanya tidak ada juga ayat ataupun riwayat yang secara sarih memperbolehkan nikah beda agama, antara perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Paling jauh dia hanya bersandar pada konsep iktifā dari ayat 5 surat al-Maidah. Menurutnya, ayat itu tidak menyebutkan laki-laki non-Muslim karena penyebutan kata perempuan ahli kitab sudah terbilang cukup.

Masalahnya Mun’im lupa, bahwa klaim kehalalan nikah laki-laki non-Muslim dengan perempuan Muslimah itu tidak “di-nash” oleh ayat ini! Yang disebutkan secara “nash” adalah perempuan ahli kitab. Sementara laki-laki dari ahli kitab tidak disebutkan sama sekali. Yang benar, ayat ini “mendiamkan” hukum menikah dengan laki-laki ahli kitab. Dan apa yang didiamkan oleh al-Quran dalam satu ayat bukan berarti tidak disinggung oleh ayat yang lain. Atau dalil syariat yang lain.

Dengan kata lain, sesuatu yang didiamkan oleh al-Quran tidak bisa dijadikan alasan kebolehan secara mutlak. Ketika ada ayat lain yang menolak, maka dengan sendirinya apa yang terdiamkan (maskut ‘anhu) itu menjadi tertolak juga. Di sinilah, saya kira, pentingnya memahami teks al-Quran secara metodologis. Dan inilah yang tidak kita temukan dalam metode pembacaan Mun’im. Dia hanya mengutip ayat-ayat dan perkataan ulama secara eklektik. Tapi tidak membaca dan menelitinya dengan metode penelitian akademik.

Dalam persoalan fikih, riwayat ahad dan dalil-dalil yang bersifat zhanni itu sah dijadikan sandaran hukum. Karena itu dikenal ungkapan “al-fiqhu min bāb az-zhunūn” (fikih itu berisikan sangkaan-sangkaan). Sedangkan akidah berisikan kesimpulan-kesimpulan yang bersifat pasti (qath’iyyāt).

Karena itu agak mengherankan ketika al-‘Alayli—dan Mun’im bersetuju dengan sikap itu—menolak riwayat-riwayat ahad dalam konteks pembicaraan seputar nikah beda agama. Siapa ahli fikih yang mensyaratkan bahwa dalam masalah furu’ itu harus selalu bersandar pada nash, atau dalil qath’i, seperti yang diajukan oleh al-‘Alayli itu?

Lebih aneh lagi dengan sikap Mun’im Sirry, yang menolak bersandar pada riwayat ahad dalam masalah nikah—padahal itu merupakan persoalan partikular, seperti dia akui sendiri— tapi dia seringkali menggugat masalah qath’iyyāt dengan bermodalkan riwayat-riwayat yang lemah. Dengan penuh keraguan saya bertanya, inikah tawaran metodologi ilmiah yang Mun’im kehendaki itu?

Dalil Ketiga

Meskipun dalil ijma’ dan ayat al-Quran sudah terbilang cukup, sebagai argumen penguat kita bisa sebutkan ayat al-Quran yang lain. Ayat yang dimaksud ialah, Q.S al-Mumtahanah [60]: 10. Untuk menjelaskannya, mari kita simak bunyi ayatnya terlebih dulu. Allah Swt berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih tahu tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui (keadaan) mereka bahwa mereka (benar-benar sebagai) perempuan-perempuan mukmin, janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 10).

Ayat ini, sebagaimana ditegaskan oleh al-Jasshash (w. 370 H) dalam Ahkām al-Qurān, turun dalam setelah masa perjanjian Hudaibiyyyah. Ketika itu kaum Muslim dan orang-orang kafir memutuskan untuk damai bersyarat. Di antara syarat yang ditenetukan ialah, jika ada laki-laki Muslim dari Mekkah datang ke Nabi (di Madinah), maka dia harus dikembalikan kepada kaumnya. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa di antara sahabat yang dikembalikan ialah Abu Jandal. Lalu, setelah itu datang seorang perempuan bernama Ummu Kultsum putri ‘Uqbah bin ‘Abi Mu’ayith.

Nah, menyangkut perempuan-perempuan Muslimah yang berhijrah itu turunlah ayat al-Quran yang mengatakan: “janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.” (Ahkām al-Qurān, vol. 5, hlm. 327).   

Di sini lagi-lagi yang dijadikan alasan ialah kekufuran. Meksipun ayat ini turun dalam konteks orang-orang Musyrik, tapi alasan di balik larangan mengembalikan perempuan-perempuan itu ialah kekufuran. Dan kekufuran itu lebih umum ketimbang kemusyrikan (al-kufr ‘aam min as-syirk). Orang yang tergolong sebagai ahlu kitab masuk dalam cakupan orang-orang kafir. Dengan demikian, alasan yang disebutkan dalam ayat ini juga berlaku bagi Ahli kitab. Meskipun dia turun dalam konteks orang-orang musyrik.  

Proses pengambilan dalil dengan cara seperti ini ditempuh oleh Ibnu ‘Asyur, yang kepakarannya dalam Ushul Fikih nyaris tak ada yang bisa meragukan. Mari kita kembali pada penafsiran Ibnu ‘Asyur terhadap Q. 2: 221, karena di sana ia mengaitkan ayat itu dengan QS. 60: 10, yang sedang kita bahas ini.

Dalam tafsirnya, ia menyatakan bahwa Q. 2: 221 itu merupakan pengharaman atas pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki musyrik. Jika kata “musyrik” dalam ayat tersebut dimaknai secara zahirnya, berdasarkan ujaran syari’at—yakni orang yang menyekutukan Tuhan, atau menyembah berhala—maka ayat ini, kata Ibn ‘Asyur, tidak berbicara tentang hukum menikah perempuan Muslimah dengan laki-laki dari ahli kitab.

Lalu, apa yang menjadi sandaran bagi keharaman pernikahan model terakhir itu? Ibnu Asyur menjawab, bahwa dalil keharaman itu imma bersandar pada dalil yang diterima oleh para sahabat dari Nabi Saw (dalil tallāqahu as-shahābah min an-nabi), dan dikenal luas di kalangan mereka, atau dalil itu ialah berlimpahnya dalil-dalil syariat (tadhāfur al-adillah as-syar’iyyah). Dan di antara dalil syariat yang dirujuk oleh Ibnu ‘Asyur ialah Q. 60: 10 yang kita bahas sekarang ini.

Lihat, Ibnu Asyur mengakui bahwa dalil terkait keharaman nikah beda agama itu berlimpah dan banyak. Tidak seperti yang diduga oleh Mun’im Sirry, yang kepakarannya tidak jelas itu. Di sini, kata Ibnu ‘Asyur, ayat tersebut menggantungkan larangan pada kekufuran (‘allaqa an-nahya bi al-kufr). Dan dia lebih umum ketimbang kemusyrikan (Tahrir wa Tanwir, vol. 2, hlm. 362).

Dengan penjelasan itu, Ibnu Asyur sebetulnya ingin mengatakan bahwa kendatipun ayat ini turun bagi orang-orang Musyrik, tapi ayat tersebut menjadikan kekufuran sebagai alasan di balik pelarangan itu. Maka dengan demikian, larangan ini juga berlaku bagi ahli kitab. Karena mereka tercakup dalam kategori orang-orang kafir. Berdasarkan teks-teks dari ayat al-Quran itu sendiri.

Bukti lain bahwa ulama besar asal Tunisia itu mengharamkan nikah perempuan Muslimah dengan laki-laki Ahli kitab ialah teks sebagai berikut: 

أَنَّ الْكَافِرَ إِذَا أَسْلَمَتْ زَوْجَتُهُ يُفْسَخُ النِّكَاحُ بَيْنَهُمَا ثُمَّ إِذَا أَسْلَمَ هُوَ كَانَ أَحَقَّ بِهَا مَا دَامَتْ فِي الْعِدَّةِ

“Bahwa orang kafir itu, apabila isterinya masuk Islam, maka hubungan pernikahan di antara keduanya harus diputus. Kemudian apabila lelakinya masuk Islam, maka dia lebih berhak untuk merujuknya, selama si perempuan berada dalam masa iddah.”

Walhasil, jika Anda bertanya apakah ada dalil di balik keharaman nikah beda agama, maka jawabannya bukan hanya “ada”. Tapi, seperti dikatakan oleh Ibnu ‘Asyur sendiri, banyak dan berlimpah (mutadhāfirah). Dan kita sudah sebutkan beberapa di antaranya, baik dari perkataan para ulama maupun istinbāth mereka terhadap ayat-ayat al-Quran. Jika Anda belum merasa puas, maka pada episode selanjutnya kita bisa memaparkan dalil-dalil yang lain. Demikian, wallāhu ‘alam bisshawāb.

Bagikan di akun sosial media anda