Agama dan KehidupanKajian KeislamanKritikTerkini

Setiap Agama Benar Menurut Keyakinan Pemeluknya Masing-masing?

Ada satu poin penting yang perlu kita sepakati sebelum menjawab pertanyaan di atas. Bahwa pengakuan seseorang akan benarnya sebuah agama bukanlah alasan untuk mensahihkan agama itu sendiri. Begitu juga sebaliknya. Keyakinan orang akan salahnya suatu agama bukanlah landasan yang sahih untuk menyalahkan agama itu sendiri. Artinya, kita harus bisa membedakan antara keyakinan orang akan benar-salahnya sebuah agama, dengan benar-tidaknya agama itu sendiri, yang sesungguhnya tidak bergantung pada keyakinan pemeluknya. Sulitkah bagi Anda untuk memahami ini? Baiklah. Untuk mempermudah, mari kita perhatikan contoh sederhana melalui uraian sebagai berikut.

Saya, sebagai Muslim, sangat yakin betul bahwa agama yang saya peluk ini adalah agama yang benar. Pertanyaannya, apakah keyakinan dan keimanan saya atas kebenaran Islam itu bisa dijadikan alasan untuk membuktikan kebenaran agama Islam itu sendiri? Penalaran yang sahih akan berakhir dengan jawaban tidak. Mengapa? Karena keyakinan seseorang atas benarnya sebuah agama itu satu hal. Benar-tidaknya agama yang diyakini benar itu hal yang lain lagi. Pendek kata, kalau mau membenarkan agama, kita nggak cukup hanya bersandar pada keyakinan semata. 

Kasus yang sama juga berlaku bagi orang Kristen dan para penganut agama lain. Orang Kristen percaya bahwa agama mereka itu benar. Apakah mereka berhak memeluk keyakinan itu? Tentu saja. Siapapun berhak meyakini kebenaran agamanya. Dan adanya perbedaan keyakinan, menurut pandangan Islam, tidak lantas harus mendorong umat Muslim untuk saling bermusuhan dengan mereka. Tapi, apakah yang diyakini benar itu sudah pasti benar? Ya belum tentu. Alasannya seperti yang saya sebutkan tadi. Untuk menentukan kebenaran, tidak cukup kita hanya bersandar pada keyakinan semata. 

Jadi, intinya, keyakinan kita dan keyakinan orang banyak itu tidak bisa dijadikan tolok ukur tentang benar-salahnya suatu agama. Kalau Anda melakukan itu, maka Anda akan terjatuh dalam fallacy. Itulah yang dikenal dengan istilah Appeal to Faith. Yakni suatu kekeliruan berpikir yang terjadi manakala orang menggantungkan benar-salahnya sesuatu hanya berdasarkan keyakinan dan keimanan semata. Itu jelas keliru. Karena keyakinan tidak menjadi menjadi penentu akan benar-salahnya sesuatu. 

Mungkin ada yang bertanya, lantas, kalau begitu, bagaimana caranya menentukan kebenaran sebuah agama? Bagaimana caranya agar kita bisa tahu, bahwa agama ini benar, dan agama ini salah? Saya sudah kemukakan jawabannya dalam tulisan ini. Untuk keperluan menjelaskan, mungkin tidak masalah jika kita ulang kembali jawaban itu dalam tulisan ini. 

Untuk menentukan benar tidaknya sebuah agama, maka kita perlu merujuk pada dalil dan argumentasi, nggak cukup hanya bersandar pada iman semata. Agama yang benar adalah agama yang dasar-dasar ajarannya bersandar pada dalil. Kalau tidak ada dalilnya, maka kesahihannya pun tidak dapat kita pastikan. Dan, pengkajian yang objektif akan menggiring kita pada kesimpulan, bahwa di dunia ini tidak ada agama yang semua landasan ajarannya memiliki dalil, dan dalil-dalil itu sendiri bersifat rasional dan ilmiah, kecuali satu agama saja. Yaitu Islam. 

Anda tanya dalil apa saja tentang butir-butir ajaran dan keyakinan umat Muslim, jawabannya pasti sudah tersedia. Yang sudah akrab dengan karya-karya para ulama Muslim pasti tidak akan merasa heran dengan kesimpulan ini. Faktanya menunjukkan, bahwa tradisi intelektual Islam memang sangat kaya dan berlimpah. Dan karya-karya para ulama itu mampu menyuguhkan alasan-alasan yang masuk akal di balik butir-butir keimanan yang kita peluk dalam agama itu. 

Karena itu, bagi saya, keliru kalau ada orang mengatakan bahwa setiap agama itu benar menurut keyakinan pemeluknya masing-masing. Yang tepat itu, setiap agama itu memang diyakini benar menurut pemeluknya masing-masing. Tapi, sekali lagi kita tegaskan, bahwa apa yang diyakini benar bukanlah kebenaran itu sendiri. Anda harus bisa membedakan itu. Untuk membuktikan apakah suatu agama itu benar atau tidak, sandarannya tidak cukup hanya dengan keyakinan, tapi juga harus ada dalil dan argumentasi. Dan argumentasi itu harus sahih. Tidak boleh bertentangan dengan hukum akal. 

Jantung utama dari ajaran Islam ada dua. Yaitu keesaan Allah dan kenabian Muhammad Saw. Anda ingin bertanya tentang bukti-bukti keesaan Tuhan? Para ulama Muslim sudah menyediakan jawabannya. Anda ingin bertanya tentang bukti kenabian Nabi Muhammad Saw? Lagi-lagi jawabannya juga tersedia. Nabi Muhammad itu adalah sosok yang mengaku sebagai nabi dan datang dengan membawa mukjizat. Setiap orang yang mengaku sebagai nabi dan datang dengan membawa mukjizat, maka dia pasti adalah nabi. Kesimpulan logisnya ialah, Nabi Muhammad Saw adalah seorang nabi. 

Jadi, gabungan antara pengakuan akan kenabian, dan adanya mukjizat yang beliau tampilkan adalah bukti bahwa beliau merupakan utusan Tuhan. Itu semua dijelaskan secara panjang lebar dalam buku-buku kalam. Dan, menariknya lagi, penjelasan apapun yang Anda butuhkan tentang Nabi Muhammad, semuanya, atau sebagian besarnya, tersedia dalam kitab-kitab sirah. Tidak ada satu tokoh agama manapun di dunia ini, yang sejarah hidupnya digambarkan dengan sangat detail, lengkap dan menyeluruh, kecuali manusia agung yang bernama Muhammad itu. Ini adalah fakta, yang pasti diakui oleh siapapun yang tekun membaca sejarah Islam. 

Bagaimana dengan al-Quran yang menjadi kitab suci umat Muslim? Sama. Semua ada dalilnya. Keyakinan umat Muslim akan keilahian al-Quran juga bersandar pada dalil-dalil yang masuk akal. Mungkin nanti kita akan buat tulisan terpisah tentang hal ini. Untuk sementara, Anda cukup cermati alasan yang satu ini saja. Al-Quran itu adalah mukjizat. Dalam arti dia adalah suatu yang luar biasa, yang terlahir pada orang yang mengaku sebagai nabi, yang disertai dengan tantangan, dan tantangan itu pun tak ada yang bisa menandingi. 

Adakah manusia yang bisa mendatangkan kitab yang semisal dengan al-Quran, dalam kefasihan dan kekhasan susunannya? Anda tanya para pakar bahasa Arab manapun di dunia ini. Dan kalau ada, sudah pasti orang itu akan menjadi pembicaraan masyarakat dunia. Kalau terbukti bahwa kitab suci itu merupakan mukjizat, tentu saja nalar sehat kita akan bertanya, lantas dari mana mukjizat itu berasal? Kalau dari Nabi Muhammad sendiri, tidak mungkin. Karena faktanya al-Quran sendiri menolak kenyataan itu. Lagipula, kalau sudah terbukti bahwa itu adalah kitab yang luar biasa, untuk apa nabi Muhammad menisbatkan itu kepada Tuhan? Kenapa tidak diakui sebagai karyanya saja? 

Untuk kepentingan apa beliau menisbatakan kitab agung itu kepada Tuhannya? Kalau dikatakan agar bisa mendapatkan kedudukan terhormat, misalnya, itu sulit sekali terjadi. Mengingat bahwa sepanjang hayatnya Nabi Muhammad Saw dikenal sebagai sosok yang memiliki budi pekerti luhur. Jujur, dan tidak pernah berbohong sama sekali. Pastilah sesuatu yang luar biasa itu berasal dari sumber yang juga luar biasa, bukan manusia. Dan siapa lagi sosok yang luar biasa itu kalau bukan pencipta alam semesta, Allah Swt. Anda perhatikan di sini, bahwa keyakinan orang Islam terhadap keilahian al-Quran itu juga punya alasan yang masuk akal. Bukan hanya sebatas dogma yang diwariskan secara turun temurun saja. 

Terlalu panjang kalau kita harus membuktikan satu persatu kesahihan ajaran Islam itu. Semuanya didedahkan dalam buku-buku kalam. Poin penting yang ingin kita tegaskan di sini ialah, keliru kalau Anda menilai benarnya sebuah agama, atau mazhab, atau pandangan apa saja, berdasarkan keyakinan semata. Kelirulah orang-orang yang berkata bahwa setiap agama itu benar menurut keyakinan pemeluknya masing-masing. Karena apa yang diyakini benar belum tentu sepenuhnya benar. Kebenaran itu bergantung pada argumentasi. Kalau argumentasi tidak ada, maka kita tidak bisa memastikan benarnya sebuah agama. Demikian, wallahu ‘alam bisshawab.

Bagikan di akun sosial media anda