Akidah dan FilsafatKritikTerkiniTerpopuler

Nur Muhammad: Makhluk atau Bukan Makhluk?

Dalam tayangan ini kiai Said sedang menjelaskan konsep Nur Muhammad, atau yang juga sering disebut dengan istilah “al-Haqiqah al-Muhammadiyyah”, atau “ar-Ruhaniyyah al-Muhammadiyyah” (dalam istilah Syekh Yusri), sebagai manifestasi/penampakkan ilahi dan perantara antara dzat yang maha mutlak itu dengan keterciptaan alam raya ini. Secara umum, pandangan yang melihat Nur Muhammad sebagai perantara, atau tajalli ilahi, bukanlah pandangan yang bermasalah. Tak ada pertentangan teologis serius kalau ada orang yang mengimani adanya Nur Muhammad itu. 

Kalau ada yang tidak percaya, juga tidak ada masalah. Karena ini bukan persoalan qath’i yang dijadikan sebagai akidah pokoknya umat Muslim. Sadar bahwa tasawuf itu harus berlandaskan al-Quran dan Sunnah, guru kami sering menguatkan keyakinan tersebut dengan beberapa hadits dan ayat. Beberapa di antaranya, misalnya, bisa Anda baca dalam kitab “Syarh Shalawat al-Awliya.” Dan juga berbagai ceramah beliau yang jumlahnya ribuan episode itu. Walhasil, tidak ada masalah dengan keyakinan yang melihat Nur Muhammad sebagai perantara. 

Masalah muncul di mana? Masalah mulai muncul ketika kiai Said lagi-lagi mempertentangkan antara konsep manifestasi/tajalli, atau penampakan, dengan penciptaan. Bagi kiai Said, istilah menciptakan itu benar-benar bermasalah dari sudut ilmu hakikat. Karena berujung pada fatalisme, katanya! Sebagai seorang sunni, mestinya kiai Said lebih teliti dalam penolakan itu. Sukujur tubuh kitab-kitab ulama Sunni mengamini adanya konsep penciptaan. Baik itu menyangkut alam raya maupun perbuatan manusia. Para sufi pun demikian. Mengatakan bahwa A adalah manifestasi Allah, tidak otomatis menarik kesimpulan bahwa A itu tidak diciptakan oleh Allah. 

Semua manifestasi (tajalliyyat)-nya Allah itu ya jelas makhluk. Itu kesimpulan sederhana yang sangat mudah sekali untuk dijelaskan kepada orang-orang awam. Tanpa harus berbelit-belit menolak konsep penciptaan, seperti yang dilakukan kiai Said itu. Kata kiai Said, kalau ditanya apakah Nur Muhammad itu Sang khaliq (pencipta), maka jawabannya: tidak! Tapi kalau ditanya apakah dia makhluk? Maka, tegas kiai Said, jawabannya tidak juga! Lalu apa? Jawaban kiai Said, di adalah perantara antara khaliq dengan makhluk. Bukan khaliq, dan bukan makhluk.

Menarik dicatat, bahwa redaksi yang ditulis oleh Ibn ‘Arabi sendiri memposisikan Nur Muhammad itu sebagai sesuatu yang hadits. Dan kalau dia hadits, maka berarti dia makhluk. Kata Ibn ‘Arabi, Nabi Muhammad Saw itu adalah “wujud paling sempurna dalam jagat spesies manusia” (akmal maujud fi hadza an-nau’ al-insani). Karena itulah, lanjut Ibn ‘Arabi, “dengannyalah dimulai perkara itu dan diakhiri” (wa lihadza budia bihi al-amr wa khutima). (Lihat Fushus al-Hikam, hlm. 214). Penggunaan kata “budia”, yang bermakna “dimulai” secara otomatis mengamini adanya keberawalan. 

Artinya, dalam tasawuf falsafi itu sendiri, ruhnya nabi Muhammad Saw itu dikatakan sebagai sesuatu yang berawal. Kalau berawal, otomatis dia hadits (ada dari ketiadaan). Kalau dikatakan ada dari ketiadaan, bukankah itu artinya dia diciptakan? Kalau hanya dikatakan manifestasi (tajalli), penting diingat juga bahwa manifestasi itu sendiri meniscayakan adanya keterciptaan. Karena manifestasi itu tadinya tidak ada, kemudian ada. Sayangnya, meski penjelasan ini terlihat lebih mudah, kiai Said lebih memilih jawaban yang pelik. Dia bukan khaliq, dan juga bukan makhluk! Lah, terus apa?  

Jawaban kiai Said ini bukan hanya akan ditolak keras oleh para teolog Muslim, tapi juga berbeda dengan apa yang kami terima dari guru kami. Tak hanya itu. Kalau dianalisis secara rasional—dan metode analisis semacam ini sah dilakukan, karena disiplin keilmuan yang dibicarakan oleh kiai Said ialah tasawuf falsafi—maka jawaban itu juga akan terlihat problematis. Segala sesuatu selain Allah itu adalah makhluk. Titik. Itulah diktum para teolog yang cukup tersebar dalam berbagai halaman kitab kalam. Dalam pemaparan Syekh Yusri yang sering kami simak, Nur Muhammad itu tegas disebut sebagai makhluk. 

Dan prinsip akidah yang lurus memang mengharuskan kita untuk menyatakan itu. Ya, Anda boleh menyebutnya sebagai perantara (wasithah). Tapi kenyataannya sebagai perantara, sekali lagi, tidak lantas mencerabut dan melenyapkan identitas kemakhlukannya. Dia perantara. Dan dia makhluk. Apa masalahnya menarik kesimpulan itu? Secara rasional, kaidah logika paling dasar menyebutkan: “tidak ada perantara antara dua hal yang kontradiktif” (la wasithah baina an-naqidhain). Kalau sesuatu dikatakan khaliq (pencipta), berarti dia bukan makhluk (yang diciptakan). 

Dan kalau sesuatu itu disebut makhkuk, maka pastilah dia bukan sang khaliq. Selain sang khaliq, makhluk. Kalau terbukti makhluk, berarti bukan sang khaliq. Sesederhana itu. Di sisi lain, menyebut cahaya Nabi Muhammad sebagai bukan khaliq dan bukan makhluk itu pada gilirannya akan melahirkan pertanyaan baru. Lalu dia itu hadits (bermula), atau qadim (tidak bermula)? Kalau jawaban pertama yang dipilih, konsekuensinya berarti dia makhluk. Tapi kalau pilihan kedua yang diambil, maka gugurlah sudah “kesunnian” kiai Said. 

Karena prinsip mazhab Ahlussunnah tidak memperkenankan adanya sesuatu yang qadim selain Allah dan sifat-sifat-Nya. Pertanyaannya, kiai Said berada di aliran yang mana? Inilah yang membuat kita agak bingung. Kiai Said bicara tasawuf tanpa mendudukan posisi epistemologis yang jelas. Sebagai seorang Asy’ari, kah? Seorang muktazili, kah? Seorang filsuf, kah? Seorang sufi, kah? Atau jangan-jangan tidak punya pendirian yang tegas. 

Sebagai mantan ketum PBNU, dugaan keras kami kiai Said akan mengakui dirinya sebagai seorang Sunni. Tapi, yang perlu diingat, pengakuan sebagai seorang Sunni dengan sendirinya akan mengikat kiai Said dalam kaidah-kaidah universal, dan pokok-pokok pandangan yang disepakati dalam mazhab itu sendiri. Salah satunya ialah konsep penciptaan ini. Dan memandang segala sesuatu selain Allah Swt sebagai makhluk. Dan tidak memandang adanya yang qadim selain Allah dan sifat-sifat-Nya.  

Keengganan untuk menyebut Nur Muhammad sebagai makhluk itu bermula dari satu asumsi yang kacau, bahwa kalau sesuatu dikatakan manifestasi (tajalli), maka itu berarti dia tidak diciptakan. Anda bisa lihat sendiri berapa kali kiai Said menolak dan mempertentangkan antara konsep penciptaan dan manifestasi itu. Kalaulah pandangan itu dipertahankan, kita ingin bertanya: lantas bagaimana proses manifestasi itu terjadi? Sesuatu yang dikatakan manifestasi itu tadinya ada atau tidak? 

Kalau dikatakan tadinya tidak ada, dan kemudian ada, maka selesailah sudah. Kalau begitu dia adalah makhluk! Tapi kalau dia dikatakan ada dengan adanya Allah (baca: qadim), maka kiai Said sudah masuk dalam jurang para filsuf (al-falasifah), sebagaimana dia keluar juga dari taman para sufi. Dan persis pandangan inilah yang dikafirkan oleh Imam al-Ghazali. Yaitu pandangan bahwa ada sesuatu yang qadim selain Allah. Mazhab Sunni nggak bisa menerima itu. Terlebih kiai Said juga memandang bahwa manifestasi dari sifat itu termasuk hal yang niscaya. 

Logika orang Sunni tak akan mudah menerima kesimpulan itu. Segala sesuatu selain Allah itu mumkin lidzatihi, bukan niscaya. Menurut kiai Said, orang diktator dan zalim seperti Namrud, Fir’aun, dan semacamnya, itu harus ada. Sekali lagi, harus ada. Kalau bagi kita, yang mengindahkan prinsip-prinsip akidah Sunni, manifestasi sifat itu bukan sesuatu yang wajib (niscaya), melainkan sesuatu yang mumkin (kontingen). Artinya, dia bisa ada, bisa tidak ada. Baik dia ada ataupun tidak, nama dan sifat Allah tetaplah ada. Karena itu bersifat qadim. Juga tidak disempurnakan oleh makhluk-makhluk-Nya.

Penjelasan kiai Said tidak demikian. Nama dan sifat itu dikatakan vakum kalau tidak ada manifestasinya. Sementara, di sisi yang lain, konsep manifestasi itu dimunculkan sebagai upaya untuk menghindari fatalisme. Alih-alih keluar dari tuduhan itu, kiai Said malah menjeburkan dirinya dalam fatalisme itu sendiri. Dengan mengatakan bahwa manifestasi sifat Tuhan itu niscaya. Harus ada. Kalau tidak, sifat dan nama Tuhan itu akan terlihat vakum, tidak bermakna, dan “nganggur”! Ya ujung-ujungnya jadi fatalis juga. 

Saya berlindung kepada Allah dari akidah yang rusak semacam ini. Tumpahan keprihatian kita semakin mengalir deras ketika akidah ngawur yang dibungkus dalam uraian yang janggal ini ditampilkan di televisi. Yang menonton adalah bapak-bapak yang belum belajar akidah Islam secara mendalam. Ibu-ibu yang kerjaannya ngurusin anak. Perempuan-perempuan yang kerjaannya main tiktok. Anak-anak muda yang sibuk dengan main game online. Para petani yang kerjaannya pulang pergi ke sawah. Mereka ingin belajar agama dari kiainya. Lalu disuguhi penjelasan semacam ini.  

Seorang alim perlu arif dalam melihat tema, audiens dan tempat pembicaraan. Tidak semua yang kita tahu itu harus dikemukakan. Dan tidak semua yang disampaikan itu memiliki tempat yang relevan. Begitulah kearifan yang kita terima dari para ulama kita. Sayang, kiai Said tidak memberikan keteladanan itu. Mending kalau kesalahannya sedikit dan tidak fatal. Masalahnya masih banyak lagi! Kita mengharapkan keteladanan dari para kiai kita. Kalau bukan mereka, lantas siapa lagi yang dapat memberikan keteladanan itu? 

Bagikan di akun sosial media anda