Agama dan KehidupanRefleksiTerkini

Ulama yang Paling Berpengaruh dalam Hidup Saya

Selama menimba ilmu di Mesir, beliaulah guru yang paling berjasa dalam merubah cara berpikir, prinsip hidup, sekaligus tingkat keimanan saya dalam menjalankan agama. Di luar sana saya yakin ada banyak pelajar asing yang punya kesan semacam itu. Saya mengenal Maulana Syekh Yusri pertama kali ketika beliau masih mengajar di pelataran masjid al-Azhar. Kitab yang diampu waktu itu ialah Shahih al-Bukhari.

Sebagai mahasiswa baru, saya nggak begitu paham apa yang beliau sampaikan. Apalagi beliau sering menyampaikan materi dengan bahasa amiyah khas orang-orang Mesir. Sekitar satu-dua tahun setelah itu beliau menggelar pengajian kitab Manāzil as-Sāirīn. Salah satu kitab yang ringkas, padat dan mendalam dalam menguraikan terminal-terminal spiritual dalam ajaran para sufi.

Barangkali, dari sekian banyak pengajian beliau yang sering saya ikuti, itulah pengajian yang paling berkesan bagi saya. Waktu itu saya tinggal di daerah Zahra. Jarak dari tempat tinggal saya, dengan tempat pengajian beliau, itu kurang lebih 40-60 menit dengan naik bis. Pengajian diadakan setelah salat isya. Meski jauh, saya sering menyempatkan waktu untuk menghadiri pengajian itu.

Rasanya, kalau menyimak pemaparan beliau, saya seperti dibawa ke alam lain. Sejak saat itulah saya yakin, bahwa beliau ini bukan hanya ahli dalam ilmu-ilmu syariat, tapi juga punya keahlian di atas rata-rata dalam menguraikan ilmu hakikat. Mungkin, pikir saya, inilah orang alim yang saya cari selama ini. Orang alim yang ilmunya layak disimak. Perbuatannya patut diteladani. Dan sosoknya pantas untuk dicintai. Jika dilihat dari kesehariannya, ulama yang satu ini memang teladan dalam arti yang sesungguhnya.

Bicara keistiqamahan, rasanya sulit menemukan orang seistiqamah beliau. Setiap hari, selesai salat subuh, beliau memimpin puluhan pelajar untuk berzikir, bersalawat dan membaca wiridan tarekat yang beliau pimpin sendiri. Setelah itu disusul dengan pengajian tentang tafsir al-Quran dan sunnah nabi. Lalu salat dhuha dua rakaat. Dan itu nyaris tidak pernah libur. Walau dalam keadaan mati lampu sekalipun! Ketika menjelang ramadan, semua orang yang salat di masjidnya tahu seperti apa kuatnya ibadah beliau.

Usia beliau sudah melewati angka 60. Tapi bisa salat tarawih dari bada isya sampai 15 menit sebelum sahur! Dalam satu bulan, beliau dan para jamaahnya bisa mengkhatamkan 5-6 kali khataman. Dan itu semua dilakukan di dalam salat. Belum dengan khataman di luar salat. Dengan semua ketekunan itu, beliau adalah seorang dokter, yang setiap hari melayani pasien. Dan mampu menjalankan tugasnya dengan baik.

Benarlah kalau ada yang bilang bahwa beliau ini adalah thabīb al-ulamā (dokternya para ulama), dan ālim al-athibbā (ulamanya para dokter). Dan rasanya sulit menemukan orang dengan dua kecakapan itu di era sekarang. Di mata kami, beliau termasuk min nawādir hādza az-zaman (orang langka di era sekarang). Akhlak beliau tak bisa kami teladani. Ibadahnya tak bisa kami tiru. Tingkat keilmuannya juga tak mudah untuk kami capai.

Tapi, kami mencintai beliau. Dan berharap agar di akhirat kelak Allah Swt mengumpulkan kami, guru kami, dan para pengikutnya yang setia, dengan rasa cinta itu. Cinta itu ibadah hati. Dan setetes cinta (dzarrah min al-hubb), seperti kata beliau sendiri, bisa menandingi segunung amal perbuatan (ta’dil al-jibāl min al-‘amāl). Karena itu mari kita cintai orang-orang saleh dan para ulama kita. Karena mencintai mereka adalah jalan utk mencintai Nabi. Dan mencintai Nabi adalah jalan untuk mencintai Allah Swt.

Bagikan di akun sosial media anda