Kajian KeislamanKritikStudi al-QuranTerkiniTerpopuler

Kesalahan Fatal Mun’im Sirry dalam Membaca Kalam Imam Abul Hasan al-Asy’ari (Bag. 4)

Anda tentu masih ingat dengan dua uraian sebelumnya yang membuktikan kesalahpahaman Mun’im dalam menyimpulkan kutipan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, dan juga kutipan dari Imam an-Nasafi. Kita tidak perlu mengulang lagi penjelasan itu di tempat ini. Secara singkat ingin kita katakan kembali bahwa pandangan lemah yang menyebutkan al-Quran hanya diturunkan maknanya saja, dan kemudian nabi mengungkapkan makna itu ke dalam bahasa Arab, tidak serta merta menjadikan apa yang diungkapkan nabi itu sebagai kalamnya sendiri. Alasan-alasannya sudah kita paparkan di sana. 

Kali ini kita akan buktikan kekeliruan Mun’im yang lain—dan kekeliruan ini cukup terbilang fatal dan memalukan—ketika dia mengutip perkataan Imam Abul Hasan al-Asy’ari (w. 324 H), sosok yang dikenal sebagai tokoh sentral dalam mazhab Asya’irah. Harap Anda ingat bahwa Mun’im, dalam artikel yang ditulisnya, sedang mencari-cari alasan untuk mensahihkan pandangannya dari kalam para ulama. Dua kutipan sudah Mun’im pahami secara keliru. Dan sekarang, lagi-lagi, Mun’im (entah dengan sengaja atau tidak) sudah berani mendistorsi pandangan seorang tokoh besar dalam mazhab Ahlussunnah waljama’ah, hanya untuk membenarkan pandangannya yang aneh itu. 

Sebelum masuk kesana, saya tertarik untuk memperjelas terlebih dulu duduk persoalan seputar apakah al-Quran itu makhluk atau bukan makhluk. Bagi Anda yang menekuni dunia teologi Islam dengan baik pasti sudah tahu, bahwa semua ulama Ahlussunnah sepakat bahwa al-Quran itu adalah kalam Allah, baik itu lafaz maupun maknanya. Allah itu—demikian akidah yang ditanamkan dalam ajaran Sunni—memiliki sifat kalam. Sifat kalam Allah ini bukan berupa lafaz, huruf dan suara. Juga tidak terangkai dari bahasa tertentu. Dan sifat Allah yang satu ini adalah sifat yang qadim (tidak bermula). Karena dia berada pada dzat yang qadim. Inilah yang oleh para ulama disebut dengan istilah kalam nafsi. Yakni kalam yang berupa makna yang berada pada Dzat.

Saya sudah berikan contoh sederhana untuk memahami istilah kalam nafsi ini dalam tulisan yang lalu. Juga Anda bisa uraian lainnya dalam tulisan ini. Untuk memperjelas, kita berikan contoh satu lagi. Saya, misalnya, suatu ketika jatuh cinta sama seorang perempuan. Tapi, saya belum mengutarakan perasaan itu kepada yang bersangkutan dengan perkataan tertentu. Sebelum saya mengatakan kalimat “aku jatuh cinta kepadamu”, sejujurnya ada semacam “pembicaraan tersembunyi” di dalam diri saya. Dan pembicaraan itu tidak terdiri dari suara dan huruf. Itu hanya sekedar makna-makna saja, yang belum terekspresikan dengan kata-kata. Inilah yang dimaksud dengan kalam nafsi itu. 

Nah, manakala makna-makna yang berada pada diri saya itu terkespresikan melalui lafaz, dengan kalimat “aku jatuh cinta kepadamu”, maka ketika itu makna tersebut sudah dikemas ke dalam rangkaian lafa-lafaz yang menjadi penunjuknya. Dan inilah yang disebut dengan kalam lafzhi itu. Yakni kalam yang terangkai dari lafaz-lafaz, yang menunjuk pada makna-makna tertentu. Saya tidak ingin mengatakan bahwa Tuhan juga memiliki makna-makna persis seperti yang terpatri dalam hati kita. Tapi itu hanyalah sebatas ilustrasi sederhana untuk memahami perdebatan seputar makhluk atau tidaknya al-Quran itu. 

Al-Quran itu bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, sebagai kalam nafsi. Kedua, sebagai kalam lafzhi. Sebagai kalam nafsi, al-Quran itu dikatakan qadim (tidak bermula). Tidak berupa bahasa, juga tidak terangkai dari huruf-huruf. Juga tidak memiliki suara. Karena itu semua adalah sesuatu yang baru (hadits). Sementara Tuhan adalah Dzat yang qadim(tidak bermula). Sesuatu yang baru tidak mungkin berada pada Dzat yang qadim. Dan semua ulama sepakat bahwa al-Quran dalam pemaknaan semacam ini bukanlah makhluk. Di samping nalar sehat pun pasti akan berkata demikian. 

Tapi, manakala al-Quran itu sudah menjadi kalam lafzhi, seperti yang sekarang kita baca, yang terangkai dari huruf-huruf, jelas kita akan berkata bahwa itu adalah sesuatu yang hadits (ada dari ketiadaan), bukan lagi berstatus sebagai sesuatu yang qadim. Karena huruf-huruf itu disusun secara berurutan. Dan keberurutan adalah ciri dari kebaruan (min ‘alamat al-huduts). Hanya saja, sebagian dari para ulama enggan menyebut kata makhluq. Karena khawatir ungkapan itu bisa berakhir pada kesimpulan bahwa al-Quran dalam arti kalam nafsi juga disebut sebagai makhluk! Dan itu bisa menjatuhkan orang pada kekufuran. Karena sifat yang berada pada Dzat Sang khaliq tidak mungkin bisa disebut makhluk. 

Ada juga ulama yang enggan mengutarakan pernyataan al-Quran sebagai makhluk itu semata-mata karena alasan etika (adab) terhadap firman Tuhan. Mereka memandang ungkapan itu sebagai ungkapan yang tidak beradab. Kecuali kalau dalam konteks pembelajaran (fi maqam at-ta’lim), atau karena adanya keperluan (liddharurah). Karena itu mereka menolak untuk menyebut al-Quran sebagai makhluk. Meskipun, pada hakikatnya, al-Quran dalam arti kalam lafzhi itu jelas bukan sesuatu yang qadim. Dia adalah sesuatu yang baru (hadits). Karena dia terdiri dari rangkaian huruf. Dan keberurutan huruf-huruf itu, sekali lagi, adalah bukti akan kebaruannya. Sudah jelas sampai di sini? Saya harap ini sudah jelas.

Jadi, ketika Imam Asy’ari dan para ulama Asya’irah menyebut al-Quran bukan makhluk, yang mereka maksud ialah al-Quran dalam arti kalam nafsi itu tadi. Karena al-Quran dalam sudut pandang itu ialah sifat kalam yang berada pada Dzat Allah Swt. Atau mereka menolak ungkapan itu karena khawatir apabila al-Quran dalam arti kalam nafsi dipandang sebagai makhluk, ketika yang menjadi penunjuknya juga disebut sebagai makhluk. Meskipun mereka sepakat, bahwa al-Quran dalam arti kalam lafzhi, yang terdiri dari lafaz-lafaz, huruf-huruf, dirangkai dengan bahasa tertentu, dan kalau dibaca bisa melahirkan suara, itu adalah sesuatu yang hadits (baru). 

Pertanyaannya kemudian, apakah al-Quran dari sisi statusnya sebagai kalam lafzhi itu disebut sebagai kalam Allah juga? Kita sudah menjawab: Iya! Tentu saja. Itu juga kalam Allah, dari sisi bahwa dia menjadi penunjuk (dal) atas kalam nafsi qadim yang berada pada Dzat Allah itu. Kalam lafzhi itu menjadi dal, sementara kalam nafsi menjadi madlul. Pandangan ini perlu kita utarakan karena Mun’im, dalam tulisannya, tampak mencampuradukkan dua sisi ini. Atau tidak membedakan al-Quran dalam dua sisi sudut pandangan ini dengan baik. Dan Anda bisa amati itu dalam paragraf-paragraf beserta kutipan-kutipan yang disertakannya. 

Kenyataan bahwa kaum Sunni menyebut al-Quran bukan makhluk itu tidak serta merta melahirkan kesimpulan bahwa lafaz al-Quran tidak berasal dari Allah. Karena al-Quran yang mereka maksud bukan makhluk itu, sekali lagi, ialah al-Quran sebagai kalam nafsi. Sebagai kalam lafzhi, mereka tetap memandang lafaz al-Quran itu sebagai kalam Allah, yang diwahyukan oleh Allah, dan bukan kalam nabi. Karena kalam lafzhi itu sendiri adalah penunjuk (dal) atas kalam nafsi yang berada pada Dzat Allah itu. Kalau Mun’im mendalami khazanah teologi Islam dengan baik, saya kira dia tidak akan terjatuh dalam kesalahan semacam ini. 

Kutipan yang Disalahpahami

Lalu mana kutipan Imam Asy’ari yang disalahpahami oleh Mun’im itu? Saya ingin mengajak Anda untuk melihat kutipan tentang pandangan Imam Asy’ari ini secara langsung. Dan, setelah itu, coba Anda lihat terjemahan Mun’im Sirry yang terlihat bias dan tidak jujur itu. Dalam kitab Maqalat as-Syekh Abil Hasan al-Asy’ari (judul yang lebih populernya ialah Mujarrad Maqalat asy-Syekh Abil Hasan al-Asy’ari), salah satu kitab penting yang merekam pandangan-pandangan Imam Asy’ari (link download-nya ada di sini), Ibnu Furak menyebutkan pandangan Imam Asy’ari dengan redaksi sebagai berikut:

وكان يقول في معنى إنزال القرآن إنه إنزال الرسول به على معنى أنه حفظه في علو فأداه في سفل، فقيل: إنه نزل القرآن على معنى أنه أدى ما سمعه في علو في سفل. انظر: مقالات الشيخ أبي الحسن الأشعري، ص ٦٥

Redaksi yang kurang lebih sama, tapi jauh lebih jelas, dikutip oleh Muhammad Amin Ali ‘Isa dalam kitab Tajrid Mujarrad Maqalat as-Syekh Abil Hasan al-Asy’ari. Ini adalah salah satu kitab penting yang memperjelas kembali pandangan-pandangan Imam Asy’ari yang terserak dalam kitab Mujarrad Maqalat itu. Dalam kitab Mujarrad Maqalat,pandangan-pandangan Imam Asy’ari itu kadangkala tercampur dengan ucapan Ibnu Furak (penulisnya). Nah, Syekh Amin Ali Isa, dalam kitab itu, berupaya untuk “mensterilkan” kembali pandangan asli dari Imam Asy’ari itu, sehingga tidak tercampur dengan ucapan penulisnya. 

Di sana tertulis begini:

وأما معنى إنزال القرآن: فهو إنزال الرسول به؛ على معنى: أنه حفظه في علوّ فأداه في سفل، فقيل: إنه نزل بالقرآن؛ على معنى: أنه أدى ما سمعه في علو في سفل. انظر: تجريد مجرد مقالان الشيخ أبي الحسن الأشعري، ص ١١٠

Anda perhatikan kembali dua kutipan di atas. Dan sekarang mari kita lihat hasil terjemahan Mun’im Sirry, yang bersikukuh untuk melihat al-Quran sebagai kalam Allah dan juga kalam nabi itu. Beginilah hasil terjemahan Mun’im:

“Arti ‘menurunkan Alquran’ (inzal Alquran) adalah mengirimkan utusan (rasul) untuk membawanya turun, dalam arti bahwa ia menghafalnya di suatu tempat di atas (‘uluw) kemudian menyampaikannya di suatu tempat di bawah (sufl). Disebutkan, ia membawa turun Alquran BERDASARKAN MAKNA dan menyampaikan di bawah apa yang didengarnya di atas.”

Bagi Anda yang paham bahasa Arab, saya kira Anda sudah bisa melihat di mana titik kekeliruan fatal dari terjemahan Mun’im itu. Saya harap Anda cermati dengan baik frase “ala ma’na” yang disambung dengan kata “annahu”, yang temuat dalam kutipan di atas. Dan lihat bagaimana Mun’im menerjemahkannya? Terjemahan yang tepat itu harusnya begini. “Disebutkan, ia menurunkan al-Quran DENGAN MAKNA/DALAM ARTI BAHWA ia menyampaikan di bawah apa yang didengarnya di atas.” 

Anda perhatikan bahwa frase “ala ma’na” dalam kutipan itu disampung dengan kata “annahu.” Dan begitulah terjemahan tepatnya. Terjemah tepatnya ialah, “dalam arti bahwa”, atau “dengan makna bahwa”. Jadi, frase “ala ma’na” dalam kutipan itu berfungsi sebagai penjelas. Bukan berarti al-Quran itu diturunkan berdasarkan makna! Anehnya, Mun’im malah menerjemahkan kata itu dengan “berdasarkan makna”, seolah dia lupa bahwa frase itu disambung dengan kata annahu

Terjemahan itu disampaikan semata-mata agar Imam Asy’ari terlihat setuju dengan pandangannya. Padahal, kalaupun Imam Asy’ari menyebutkan bahwa al-Quran itu turun dengan makna, harusnya redaksi yang disebut ialah “nazala bil ma’na/bil ma’ani” (disambung huruf ba), bukan “nazala ‘alal ma’na” (disambung dengan huruf ‘ala). Juga, kalau benar bahwa Imam Asy’ari itu menyebut al-Quran diturunkan hanya dengan maknanya saja, maka harusnya di sana ada kata yang menunjukkan keterbatasan atau “ke-hanya-an” itu, seperti kata “faqath” misalnya, yang bermakna “saja.” Tapi faktanya tidak ada juga kata yang menunjukkan pembatasan dan ke-hanya-an itu. 

Bagi seorang profesor, apalagi orang yang sudah dikenal sebagai ahli studi qur’an, saya kira ini kekeliruan fatal yang sulit untuk diampuni. Apalagi kalau ini dilakukan secara sengaja. Mengapa Mun’im bisa melahirkan terjemahan ngawur seperti itu? Karena sejak awal dia sudah bernafsu untuk membenarkan pandangannya bahwa al-Quran itu hanya diturunkan dengan maknanya saja. Lalu, dia merasa perlu untuk mencari-cari pembenaran itu dari kalam para ulama. Dan sayangnya itu tidak berhasil. Lihat kesimpulan yang dia tarik setelah menampilkan terjemahan yang distortif itu:

 “Saya kira, kutipan pernyataan Asy’ari ini cukup eksplisit menegaskan bahwa ia membenarkan pandangan Alquran tidak diturunkan dengan lafaz. Pandangan ini diikuti dan dikembangkan lebih lanjut oleh teolog Asy’ariyah dari generasi berikutnya, seperti Baqillani, Juwaini, Shiqilli dan lainnya. Mereka mengafirmasi “kalam nafsi”-nya Asy’ari, dan membedakannya dengan bacaan verbal yang terdiri dari huruf dan bunyi.”

Padahal mana coba ungkapan Imam Asy’ari yang mengatakan al-Quran tidak diturunkan dengan lafaz itu? Dalam kitab al-Ibanah, justru Imam Asy’ari secara eksplisit menyebut al-Quran itu turun dengan bahasa/lisan orang-orang Arab. Perhatikan kutipan sebagai berikut:

ولو كان القرآن بلسان غير العرب لما أمكن أن نتدبره، ولا أن نعرف معانيه إذا سمعناه، فلما كان من لا يحسن لسان العرب لا يحسنه، وإنما يعرفه العرب إذا سمعوه على أنهم إنما علموه؛ لأنه بلسانهم نزل، وليس في لسانهم ما ادعوه. انظر: الإبانة، ص ١٢٩

Jelas di sana ada ungkapan “bilisanihim nazala” (dengan bahasa merekalah al-Quran itu turun). Lagipula sulit diterima orang sebesar Imam Asy’ari menyetujui pandangan aneh seperti yang diajukan oleh Mun’im Sirry itu. Para ulama besar dari kalangan Asya’irah menyebut al-Quran itu sebagai kalam Allah, baik lafaz maupun maknanya. Lalu kok bisa-bisanya Imam mereka menyebutkan bahwa al-Quran hanya diturunkan berdasarkan maknanya saja? Itu tidak mungkin. Inilah yang kita sayangkan dari Mun’im. Sering bias dalam membaca kalam para ulama, hanya demi meneguhkan pandangannya semata! 

Saya harap Anda cermati kembali kutipan-kutipan yang Mun’im sertakan dalam artikelnya itu. Adakah di antara para ulama yang secara sarih menyebut al-Quran sebagai kalam/perkataan nabi, hanya karena ia tersampaikan melalui lisannya semata? Tidak ada sama sekali. Itu hanya halusinasi Mun’im dan orang-orang sejenisnya saja. Pada tulisan selanjutnya kita akan membuktikan, bahwa pandangan yang menyebutkan al-Quran turun dengan makna dan lafaznya sekaligus itu jauh lebih kuat, dan didukung oleh banyak data dari al-Quran itu sendiri. Demikian, wallahu ‘alam bisshawab.

Bagikan di akun sosial media anda